Bukan kepalang kagetnya imam itu. Repot ia berkelit. Tidak urung, kopiah keimamannya tersabet juga hingga putus bahagian atasnya. Ia menjerit bahna kagetnya, ia mundur hingga beberapa tindak.

"Hai, pantas Siong Sek Soetee telah menderita kekalahan hingga dia bersumpah
tak hendak menggunakan pedang lagi!..." ia pun berseru. Mendengar seruan itu, Tan Hong ingat kepada Siong Sek Toodjin, yang diakui si imam sebagai soetee (adik seperguruan).

Siong Sek Toodjin adalah si imam yang telah membantu See To ayah dan anak mencoba merampas kudanya si anak muda, karena mana dia dikalahkan anak muda itu.

Maka anak muda itu jadi heran.

"Tootiang," ia menanya sambil menahan pedangnya, "adakah kau bermaksud menuntut balas untuk Siong Sek Toodjin?"

Imam itu tertawa berkakakan.

"Untuk urusan kecil itu aku hendak menuntut balas?" sahutnya. "Sungguh aku tidak kebanyakan tempo! Melihat kudamu, menyaksikan ilmu pedangmu ini, kau mestinya Thio Tan Hong. Syukur aku telah mencoba-coba kepadamu, jikalau tidak, pasti sekali kau akan jadi penasaran. Aku tanya kau, bukankah kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng?"

Tan Hong heran. Ia tetap tidak melanjutkan serangannya.

"Apa kau bilang?" ia tanya.

"Tidak apa-apa," jawab imam itu. "Hanya, kalau benar kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng, di sana kau tidak akan dapat menemui Hongthianloei!"

"Jikalau dia tidak berada di Heksek tjhoeng, habis di mana?" Tan Hong tanya.

"Dia berada di dalam pesanggrahan See To yang menjadi saudara angkatnya," si imam menjawab dengan keterangannya.

Persahabatan antara Tjio Eng dan See To memang kekal sekali, akan tetapi sejak Tjio Eng "menikahkan" puterinya dengan In Loei, persahabatan itu menjadi renggang. See To dan puteranya menjadi tidak senang, sebab mereka merasa diri mereka seperti dihina.

Mendengar keterangan itu, Tan Hong bersangsi.

"Benarkah keteranganmu ini, tootiang?" ia tegaskan.

"Untuk apa aku mendustai kau?" imam itu balik menanya. "Sekarang ini See To tengah mengundang banyak sekali orang-orang kaum Rimba Hijau, di antaranya termasuk pintoo,namun pintoo tak sudi memenuhi undangan itu. Pintoo telah menolak undangan dengan menuliskan penolakan itu di kaki gunung, habis itu pintoo lantas berlalu. Kebetulan saja di atas gunung itu, pintoo bertemu Tjio Eng."

"Bagaimana dengan anak perempuannya?" In Loei tanya. Ia campur bicara secara tibatiba setelah lama membungkam saja.

Si imam tertawa.

"Tentu saja ia berada bersama ayahnya!" sahutnya. "Eh, engko kecil, ada urusan apakah di antara kau dan mereka itu hingga kau menanyakan halnya si nona Tjio itu?"

"Aku mohon bertanya, tootiang, apakah gelaran mulia dari tootiang?" Tan Hong memotong In Loei, hingga kawannya tak sempat menjawab.

"Pintoo adalah imam dari Boetong San," sahut imam itu. "Namaku Tjek Hee."
"Oh, kiranya Tjek Hee Tootiang." kata Tan Hong. "Telah lama aku dengar nama
besar dari tootiang,"

Dengan mengatakan demikian, pemuda ini bukan cuma berlaku hormat menurut
keharusan, ia hanya omong dengan sebenarnya, sebab Tjek Hee Toodjin ini memang
salah satu imam kenamaan dari Boetong Pay.
"Masih ada satu hal yang pintoo dengar di tengah jalan," berkata pula imam dari Boetong San itu, "hanya entahlah kabar itu benar atau dusta..." "Kabar apakah itu,tootiang?" "Kabarnya ketika angkatan perang Watzu menduduki wilayah ini, See To ayah dan anak mempunyai perhubungan dengan tentera asing itu," terangkan Tjek Hee. "Inilah sebabnya kenapa pesanggrahan See To itu utuh hingga sekarang."

Thian San 2 : Dua Musuh Turunan (Peng Cong Hiap Eng)Where stories live. Discover now