21

3K 397 86
                                    

Catatan Penulis: Hai! Mohon maaf untuk keterlambatannya, jadwal tidurku sedang berantakan dan aku kemarin ketiduran HAHAHAH. Jadi, yah, kuputuskan untuk posting hari ini saja sekalian.

Ilustrasi yang kususulkan hari ini adalah untuk Bab 18 dan Bab 20. Sila refresh Wattpad kalian!

Kita mulai Part baru dari sini. Semoga aku sudah bisa menulis dalam tiga minggu ke depan. Aku bahkan belum bisa merevisi kesalahan fatal yang kubuat di akhir Bab 24. Hhhhh.

Anu, ilustrasi untuk bab yang ini dan Bab 19 akan kususulkan antara nanti malam atau besok. Berhubung ini liburan (baca: mudik) dan aku dan Rin sekarang jadi terpisah jauh (HEHEHE enggak juga, sih, Bandung-Bekasi kira-kira berapa kilometer?), kami jadi agak kelimpungan harus saling kirim-kirim gambar dulu sebelum bisa dipos. Belum lagi mencari pencahayaan untuk foto karena kami tidak punya scanner, lalu mencari internetnya, dan lain-lain. Kita lihat saja nanti.

Jadi ... selamat membaca?

***

Update 11/03/2017: ilustrasi bab ini sudah kucantumkan di akhir bab!

***

[TIGA HARI SEBELUM BADAI.]


KETIKA AKU MEMBUKA mataku lagi, aku langsung menyadari ada yang berbeda.

Pertama, ruangan tempatku berada.

Dinding-dindingnya hitam. Tunggu, bukan hitam. Dinding-dindingnya batu. Aku bisa mendengar air menetes di kejauhan, entah di mana. Ruangan ini gelap sekali.

Hanya ada satu sumber pencahayaan dari atas sana, sebuah lampu bohlam putih yang bergelantungan. Lampu itu hanya cukup untuk menyinariku. Selain itu dan dinding ruangan ini yang paling dekat denganku, aku tidak bisa melihat apa-apa lagi.

Segalanya gelap total.

"Wah."

Jantungku mencelus.

Aku kenal suara itu.

Dari arah pojok jauh ruangan ini, aku bisa melihat sepasang kelip lemah ... cahaya?

Bukan.

Bukan sumber cahaya.

Sepasang mata.

"Akhirnya kita bertemu juga, ya?" lanjut suara itu. Aku bisa melihat matanya semakin mendekat lagi. Dia bergerak mendekatiku.

Aku, sementara itu, cuma bisa perlahan menjauh hingga punggungku terpojok di tembok. Orang itu tertawa.

"Aku cuma tahu kauikut datang ke lab ayahmu. Aku cuma tidak tahu seperti apa kau itu ... dan ternyata begini tampangmu aslinya. Pirang gelap. Persegi. Lucu."

Lab Papa. Ya, aku tidak salah. Suaranya adalah suara pria yang bertengkar dengan Papa waktu itu. "Apa—apa—?"

"Apa yang kulakukan di sini?" tanya suara itu sambil akhirnya muncul ke bawah cahaya. "Oh, Bran, itu pertanyaan yang sangat bagus."

Leluhur itu botak.

Tidak, tidak botak bersih. Botak seperti rekrut baru militer. Dia bahkan lebih botak dari Horus. Warna kulit mereka mirip. Posturnya jangkung, tetapi melihat ototnya, aku juga terpikir dua kali untuk mencoba macam-macam dengannya. Dia tidak mengenakan pakaian atasan, memperlihatkan seluruh torsonya, tetapi dia memakai celana renggang yang berakhir dengan sepasang sepatu bot hitam.

Ragnarökr Cycle: Storm ChasersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang