6

3.4K 514 74
                                    

[SEMINGGU SEBELUM BADAI.]


WANITA ITU MENGERNYIT dulu padaku. "Apa dia benar putra Edvard Olsen?"

Aku tidak bisa menahan diri lagi. "Tidak ada kemiripan? Ya. Aku tahu. Aku anak pungutnya. Kenapa?"

Sepertinya nadaku agak terlalu tinggi, karena wanita itu malah mengernyit semakin dalam lagi. "Nephthys, kenapa kau membawanya ke sini?"

"Aku ingin menjenguk Edvard," mulai Nephthys. Napasnya sudah lebih teratur sekarang. "Jadi, begitu mendengar bahwa Fimbulwinter berhasil diakhiri, aku turun ke rumahnya."

Nephthys bertukar tatapan dengan wanita itu saat ia berkata menjenguk, dan aku jadi terpikir jika Nephthys punya maksud lain dengan kata itu. "Lalu?" tanya wanita itu.

"Rumahnya berantakan dan kosong. Istrinya sudah tewas, sepertinya bunuh diri. Lalu saat aku turun ... anak ini menyerangku."

"Bisa jadi dia penjarah."

"Oh, aku pasti mengira begitu jika bukan karena ledakan amukannya saat aku menyebut nama Edvard. Dia benar-benar yakin Edvard sudah meninggal."

"Hei, jangan heran begitu, oke?" selaku. "Pria Pasir itu membunuh Papa dan kakakku. Kau juga bisa mengendalikan pasir seperti dia. Apa kau berharap aku bakal langsung percaya padamu?"

"Berhenti," kata si wanita bergaun putih. "Ceritakan dari awal soal ... soal kematian Edvard."

Wajahku terasa agak memanas. "Enak saja. Sepertinya kalian berutang penjelasan padaku." Papa tewas dibunuh alien yang bisa mengendalikan pasir. Ignotus tewas dibunuh alien yang sama. Alien lain yang juga bisa mengendalikan pasir mendatangi rumahku dengan maksud 'menjenguk' Papa. Lalu tiba-tiba aku bisa mengendalikan api. Hal berikutnya yang kutahu, aku dibawa meninggalkan Bumi ke planet para alien itu ... jika ini benar tidak di Bumi.

Antara itu, atau Ignotus benar—aku menonton terlalu banyak film, dan sekarang aku sudah gila.

Hmm. Menarik. Apa orang gila bisa sadar bahwa dirinya gila?

"Apa kau sedang membawa alat telepatimu?" tanya Nephthys. Aku cukup yakin pertanyaan itu tidak ditujukan padaku.

"Tidak," jawab si Gaun Putih.

"Sayangnya, aku juga tidak," kata Nephthys. "Berarti sepertinya kita harus bercakap secara tradisional."

Si Gaun Putih menghela napas. "Baik. Dari mana kau mau mulai?"

"Siapa kalian sebenarnya?" tanyaku langsung. Nephthys dan si Gaun Putih bertukar pandangan sejenak.

"Kalau kau bertanya nama, aku dikenal sebagai Nephthys, dan ini kakakku, Isis," kata Nephthys. "Kalau kau bertanya soal identitas, kami bagian dari Kebangsawanan, sekelompok kecil Leluhur yang bertugas mengatur kebijakan untuk seluruh peradaban Kemet. Kalau kau bertanya kami apa, kami menyebut diri Leluhur. Dalam istilahmu, kami alien. Kami pernah bersentuhan dengan peradaban manusia, dulu sekali. Kalian mengenali kami sebagai dewa-dewi kalian. Sebagian sejarah kita saling bersilangan, menjadi apa yang kalian kenal sebagai mitologi dan legenda dari kepercayaan-kepercayaan lama."

Hmm. Aku ingat pernah ada acara di TV yang mengatakan hal semacam itu, bahwa budaya-budaya lama mengenalkan banyak elemen supernatural yang sebenarnya adalah campur tangan alien canggih.

Ayolah, Bran, kau benar-benar menonton terlalu banyak film.

Masalahnya, untuk saat ini, dengan segala yang sudah terjadi, apa ada penjelasan lain yang lebih masuk akal?

Ragnarökr Cycle: Storm ChasersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang