#20

3.7K 171 4
                                    


Di rumah sakit suasana semakin mencekam. Di luar kamar operasi, Mayang dan Anto menanti keadaan Hendra dengan harap-harap cemas. Sementara Ira tak henti-hentinya menangis dan meringkuk di dekat tembok.

Marissa dan Hasan akhirnya datang. Mendengar kabar kalau Hendra tertembak, Marissa ingin cepat-cepat tiba di rumah sakit.

"Apa sudah ada kabar?" tanya Marissa. Mayang menggelengkan kepalanya. Marissa melihat Ira dan langsung menghampirinya. Marissa membantu Ira berdiri lalu Marissa memeluk tubuh Ira dan membiarkan Ira menangis di bahunya.

"Harusnya bukan dia yang ada di dalam sana ... tapi aku...."

Marissa mengusap punggung menantunya. Ira masih ingat kejadian beberapa saat yang lalu, Hendra berusaha mendorong tubuhnya tapi terlambat. Peluru itu berhasil menembus tubuh laki-laki itu.

Dokter Chandra kemudian keluar dari kamar operasi. Mayang dan Anto bangkit dari kursinya. Dan Marissa melepas pelukannya.

"Bagaimana anak saya, Dok?" tanya Mayang.

"Dokter Hendra saat ini masih belum siuman karena habis menjalani operasi besar. Kami berhasil mengeluarkan peluru dari tubuhnya. Kemungkinan besok Dokter Hendra akan siuman. Tapi ... ibu dan sekeluarga harus bisa menerima kondisi Dokter Hendra nanti."

Mayang, Anto, Marissa, dan Ira tegang setelah mendengar kalimat Dokter Chandra yang terakhir.

Apa maksudnya?

♡♡♡♡

Hendra kembali ke tempat itu. Tempat di mana Hendra akan bertemu dengan seseorang yang wajahnya mirip dengannya. Dan orang itu sudah berdiri di hadapan Hendra.

"Kenapa kamu masih ada di sini? Tempatmu bukan di sini."

"Kalau bukan di sini terus dimana? Bukannya aku udah mati?"

"Kamu belum mati. Kamu harus tetap hidup. Tapi kamu harus ingat pesanku yang satu ini. Kamu harus terima keadaan kamu nanti. Mau seberapa sakit yang kamu derita, jika kamu berada di sekitar orang yang kamu sayang. Sakit itu tidak akan berarti apa-apa."

"Aku gak ngerti kamu bicara apa."

''Suatu saat kamu pasti mengerti. Aku percaya sama kamu."

Sosok itu mulai menghilang. Hendra hendak mengejar tapi dia sendiri terjatuh dan tidak bisa bangun. Dan perlahan tempat yang tadinya begitu indah berubah menjadi warna putih.

"Mas! Hendra!" seru Mayang begitu melihat kedua mata anaknya terbuka. Anto pun segera memanggil dokter.

Hendra melihat tempat sekelilingnya. Sudah sering dia melihat tembok berwarna putih dan melihat alat infus yang terpasang di tangannya.

Berarti ini rumah sakit.

Pertanyaannya sekarang: kenapa dia bisa ada di rumah sakit? Kalaupun dia ada di rumah sakit, harusnya dia menangani pasien bukan di tangani. Dan ... dia tidak merasakan apa-apa di bagian kakinya. Apa jangan-jangan kedua kakinya di amputasi??

Hendra membuka selimut yang menutupi kedua kakinya. Ternyata, kedua kakinya masih utuh. Tapi kenapa Hendra tidak merasakan kalau dia memiliki sepasang kaki?

"Hendra, kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan?'' tanya Mayang. Hendra beralih memperhatikan tiga wanita yang berdiri di sisi brankanya.

"Alva, ayo bilang sama Ibu! Kamu kenapa?" kini Marissa yang bertanya.

"Kaki aku ... aku gak bisa ngerasain kaki aku ... Kaki aku kenapa?"

Mayang, Marissa, dan Ira kaget. Apa ini maksud dari kata Dokter Chandra semalam?

"Ibu ... Mama ... kaki aku kenapa?"

Marissa maupun Mayang tak bisa menjawab. Kenapa Anto lama sekali memanggil dokter?

Dokter Chandra kemudian datang bersama Anto. Dokter itu kemudian memeriksa keadaan Hendra.

"Dok, anak saya gak papa kan?" tanya Mayang.

"Maaf Bu Mayang, Pak Anto, saya harus mengatakan yang sebenarnya. Peluru itu menembus tulang belakang dan merusak beberapa syaraf di sana. Kemungkinan besar Dokter Hendra tidak akan bisa berjalan seperti sedia kala."

"Maksud Dokter saya ... lumpuh?" tanya Hendra.

"Maaf, memang begitulah kenyataannya," jawab Dokter Chandra.

"Dokter, katakan kalau semua ini bohong. Saya mohon...."

"Saya tidak bohong."

"Enggak Dok! Dokter pasti bohong. Dokter pasti salah! Saya gak lumpuh!!"

Hendra mencoba duduk tapi tidak bisa. Tapi Hendra terus memaksa sampai Mayang dan Marissa tidak tega melihatnya.

"Cukup Hendra! Cukup ... kamu harus terima...." Mayang memeluk tubuh anaknya karena tidak tega.

"Nggak Ma ... aku gak mau lumpuh ... aku bisa jalan...."

Ira kemudian keluar dari ruangan itu karena tidak sanggup melihat keadaan Hendra. Ira merasa dirinya penyebab semua ini. Kalau saja Hendra tidak menyelamatkannya, pasti bukan Hendra yang lumpuh.

♡♡♡♡


Kedua kaki Alvi sudah mulai lumpuh. Alvi harus menggunakan kursi roda untu kegiatan sehari-harinya.

Beberapa tahun yang lalu, Marissa pernah mendengar dokter menvonis 'lumpuh' ke Alvi. Dan sekarang, Marissa harus mendengar kata itu lagi.

Alvi, Alva, kenapa harus kalian, Nak? Kenapa gak Ibu aja yang merasakan rasanya kaki lumpuh?

Beginilah sekarang. Hendra, seorang Dokter Anasthesy kini tak berdaya di kamar intensif. Ingin rasanya Hendra membius total dirinya sendiri jika tidak ingat kode etik rumah sakit. Ingin rasanya semua yang ia rasakan sekarang hanya mimpi.

"Apa Alvi dulu juga sama seperti aku, Bu?"

Marissa mendongak, "Siapapun orangnya, pasti akan terpukul setelah mendengar kabar itu."

"Di kamar Alvi, masih ada alat-alat Alvi kan? Aku mau tinggal di rumah Ibu aja. Aku gak mau pulang ke rumah."

Marissa terhenyak. Untung saja Mayang dan Anto sedang berada di luar. Jika Anto mendengar kata-kata anaknya, dia pasti ngamuk.

"Lebih baik kamu istirahat aja ya. Ibu tunggu di luar."

"Ibu, aku serius...."

"Kita bicarakan itu nanti ya. Kamu masih shock."

Marissa keluar dari kamar anaknya. Sebenarnya, Marissa senang jika anaknya mau tinggal di rumahnya. Tapi masalahnya, apa Anto dan Mayang mau menuruti keinginan anaknya?

♡♡♡♡

#20
22 Maret 2016

Edit
09 Agustus 2016

***

Chapter selanjutnya

''Aku! Aku mau jadi istri kamu...''

***

Ini riset dari mbah google. Aku udah baca tentang bahaya peluru kalau tembus ke tubuh. Dan ternyata peluru bisa bikin kaki lumpuh lho...

Penasaran itu spoiler kata-katanya siapa. Tunggu di chapt selanjutnya.

[2] After You're Gone [END]Where stories live. Discover now