Bab 2 : Filosofi Strawberry Cake

Mulai dari awal
                                    

Nora beralih mengelap meja dapur yang terbuat dari porselen putih.
"Kamu tahu sendiri aku sulit berinteraksi sama lawan jenis."

"Yaelah, Neil itu nggak termasuk lawan jenis kali, Ra!"

"Hah? Dia homo?" Nora sampai menghentikan aktifitasnya sebentar.

"Buuukaaannn!" Hanin ngeri sekaligus geli dengan pemikiran Nora. "Maksud aku, dia masih mahasiswa semester tiga. Usianya jauh di bawah kita. Dia itu lebih cocok jadi adik kita, bukan 'cowok', Ra..."

Nora mengangguk-angguk mengerti, meski tak yakin bisa melihat Neil bukan sebagai cowok.

Tak heran memang, di usianya yang sudah menginjak 23 tahun, teman lawan jenisnya dapat dihitung jari. Itupun, bisa dikatakan, lawan jenis yang diatas normal.

Ada Gary, si kutu buku teman sekelas saat SD. Pito, si anak pindahan yang tampilannya serampangan kayak preman pasar, teman SMP. Sekalinya berteman dengan cowok 'normal' seperti Dian waktu SMA, ia malah di-bully teman cewek satu sekolahan.

Dian nggak pantes temenan sama cewek aneh macam kamu! katanya.

Maka menginjak bangku kuliah di diploma jurusan tata boga, Nora memilih benar-benar membatasi pergaulan. Hanya ada satu dua orang teman dekatnya. Kesemuanya perempuan.

"Dan lagi, Neil itu asik banget, Ra! Kamu pasti akan cepet akrab sama dia. Lucu, ngegemesin, cakep... Duh, kalau dia lebih tua dari aku, udah kusosor kali!"

Nora melirik kesal, "Bukannya kamu mutusin pacar kamu kemarin karena komitmen nggak mau pacaran lagi, karena mau ta'arufan aja..."

Hanin belingsatan seperti baru tersadar akan hijab yang menempel sekitar satu bulanan itu.

"Astaghfirullah! Kelupaan aku, Ra. Duh!" katanya seraya mengelus dada.

Lantas Nora hanya menggeleng-geleng melihat sikap Hanin, si manusia petasan.

Iya, dia seperti petasan. Sekilas terlihat tenang, tapi bila ada yang memantikkan api sedikit saja, dengan mudahnya meledak. Ledakannya tidak bisa diduga, kadang menyebalkan, kadang menyenangkan. Pun demikian, ia tetap diburu banyak orang.

Dialah Hanindia.

***

Gadis petasan sudah pulang. Semua sudah ditutup, selain pintu kedai yang masih dibiarkan terbuka sedikit.

Dari balik jendela yang mengembun, Nora melihat seberang jalan. Philosophy sudah gelap sama sekali. Bahkan tetesan hujan tak terlihat jelas selain suaranya yang terserak.

Neil juga tak terlihat. Pun lelaki misterius itu. Sudah dua hari ini Nora tak melihatnya.

Perasaan yang menyiksa. Saat ingin sekali bertemu, tapi tak bisa. Lalu dada terasa sakit seperti teriris sembilu. Dan kau sadar, bahwa itu rindu.

"Nora Aryani Effendi!"

Sebuah suara teriakan di tengah lamunan, mau tak mau membuat Nora tersentak.

Ia mengenal suara itu. Dan lagi, hanya orang itu yang gemar menyebut nama lengkapnya, semacam rasa bangga karena bisa menghapal. Tapi Nora senang sekali mendengarnya.

"Mas Farzan!" Senyumnya segera mengembang saat tebakannya benar.

Lelaki bertubuh atletis dengan rambutnya yang cepak itu, turun dari Kawasaki Ninja 250R, untuk berhambur memeluk Nora.

Mencintaimu Diam Diam [ON MY OWN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang