"Maaf karena gue pergi tanpa penjelasan. Lo harus tau Dy, waktu tau orang yang mau dijodohin sama gue itu Regen... gue langsung merasa jadi sahabat paling gagal sedunia. Gue penghianat, gue jahat-"

"Sama sekali bukan salah lo, Liv" balas Melody setelah jeda hening. Matanya menatap mata Livia lurus. Sahabatnya itu belum berubah. Setahun mereka tak saling berhubungan, tapi rasanya seperti baru kemarin.

Melody tak akan pernah bisa membenci Livia, semarah apa pun dia pada gadis itu.

"Semua udah di arusnya masing-masing" lanjut Melody. Livia menggeleng . Menangkup pipi sahabatnya itu dan menatap mata coklat Melody lurus-lurus. Meyakinkan.

"Arusnya belum selesai Melody. Lo nggak tau kemana hati lo akhinya bakal berlabuh, lo nggak akan tau hidup lo sebelum lo ngelewatinnya. Yang tau hati lo sekarang, cuma hati lo sendiri. Bukan lo, gue, atau orang lain" seru Livia. Nada yakin di suaranya, seperti Melody menemukan Livianya kembali. Livia yang tegas. Livia si ketua.

Melody tersenyum getir kemudian kepalanya menunduk. Menatap ujung-ujung gaun putihnya yang sudah kusut, ia kembali berpikir tentang apa yang sudah Regen katakan, juga apa yang sudah ia ucapkan.

Dan... tentang apakah terlambat, jika ia menarik kata-katanya tadi?

"Belum terlambat Dy," Melody menatap bingung Livia, bertanya dalam hati bagaimana Livia bisa membaca pikirannya.

"Gue nggak bisa jamin apa pun tentang kalian berdua. Tapi yang pasti, lo harus percaya sama Regen. Perasaan dia bukan sekedar perasaan bersalah karena pernah nyakitin hati lo, bukan basa-basi apalagi sekedar mainan, Dy" Melody mengangkat wajah. Hatinya mencelos mendengar penuturan Livia. Rasa marahnya pada Regen, egonya, sampai kapan pun tak akan mengalahkan rasa rindunya.

Hatinya tak pernah berbohong.

"Dy. Saran gue..." Livia tersenyum, menepuk pelan lengan sahabatnya itu. "Jangan percaya sama Regen atau gue. Percaya..."

Suara ramai dari arah pintu membuat kepala Melody tertoleh. Di sana, Selda dan Aira begitu rusuh memasuki kamar sambil membawa balon warna-warni dan terompet tahun baru. Ralat, itu bukan Selda dan Aira yang biasanya. Mereka menggunakan kostum! Kostum kelici tanpa kepala yang Melody yakin sangat-amat panas.

"Jangan percaya sama siapa pun, kecuali sama hati lo! YAY! Akhirnya kita kumpul lagi. Aduh Liv, sorry ya, gue baru catok rambut nanti ancur lagi kalo pake kepala kelincinya. Jadi...hehe" seru Selda. Langsung disetujui oleh Aira.

Livia memutar mata, namun tak bisa menahan senyumnya juga. Kemudian keempatnya tertawa keras, seperti yang dulu biasa mereka lakukan. Akhirnya, mereka berkumpul lagi. Setelah satu tahun kehilangan satu keping puzzle yang membuat keempatnya merasa ganjil.

***

Angin berembus. Dingin. Menusuk kulit.

Gadis itu merapatkan jaketnya sambil satu tangannya menggenggam samakin erat tangan orang di sampingnya. Hangat. Tangan orang itu hangat. Membuat darahnya berdesir lembut dan rasa takutnya perlahan-lahan terkikis.

Orang itu menatapnya. Ia tak perlu takut menatap mata itu lagi sekarang.

"Kenapa sih, kamu ngajak aku ke sini? Kamu kan tau aku punya trauma" ucap gadis itu. Sama sekali enggan membuka matanya.

Orang itu tersenyum. Memindahkan genggaman tangan gadisnya dari kanan ke kiri. Lalu tangan kanannya menggenggam tangan kanan gadis itu sehingga dua tangan mereka sekarang saling menggenggam satu sama lain.

Dia meletakkan dagunya di bahu gadis itu.

"Selama ada aku, jangan pernah takut apa-pun" bisiknya kemudian. Membuat sebersit senyuman terbit di wajah gadis itu.

Aku dan HujanWhere stories live. Discover now