Bunyi derit kursi dan penghapus menggesek kertas menjadi suara latar selama ujian berlangsung.

"Tolong kumpulkan kertas ujian kalian," semua orang mendongak dengan terburu-buru. Aku melihat arlojiku. Masih sepuluh menit lagi waktu yang tersisa.

"Aku tahu kalian ingin protes tapi aku tidak akan menerima kertas ujian kalian jika tidak kalian kumpulkan sekarang juga," semuanya tergesa-gesa memberikan kertas ujian kepada Mrs. Pierra. Termasuk aku.

"Sekarang tolong kalian duduk lagi ke kursi kalian masing-masing," jeda. "Saya akan membagi kelompok untuk semester ini."

Anak-anak perempuan mulai menukar kursi agar mereka bisa satu kelompok. Tapi itu semua sirna karena perkataan Mrs. Pierra. "Aku akan memilih sendiri kelompok kalian. Masing-masing empat orang."

"Sarah Tate, Ben Romeo...." satu persatu nama disebut.

"Kelompok empat. Becca Phillip, Alex Arfent, Aiden Arkwright dan..." kumohon jangan aku. Kumohon.

"Ellisa Vallerie"

Ucapan Mrs. Pierra membuatku menelan ludahku. Padahal aku sendiri yang bilang agar kami tidak harus saling kenal lagi. Tapi kini aku dan Aiden harus satu kelompok? Yang benar saja.

"Tugas kelompok ini akan kukirim ke email ketua kelompok kalian minggu depan. Minggu depan sudah harus ada ketua kelompok masing-masing," Mrs. Pierra membenarkan kacamata tebalnya. Bel berbunyi. "Yap. Pertemuan hari ini selesai."

Orang-orang mulai berebutan keluar kelas, sedangkan aku masih memasukkan buku-buku kedalam tasku. Aiden sudah meninggalkan kelas. Aku sedikit kecewa. Biasanya dia selalu menunggu ku.

Bodoh! Kau sendiri yang menyuruhnya untuk menjauhimu kan?!

Aku suka sendirian sebenarnya, tapi karena akhir-akhir ini aku biasa bersama Aiden atau Tyler jadi terasa sedikit sepi. Walaupun lorong penuh sesak dengan orang-orang aku tetap merasa kesepian.

Seharusnya aku tidak gelisah seperti ini.

Akhirnya, aku memutuskan bahwa hari ini aku akan jalan-jalan. Kemana saja asalkan tidak mengingatkan kepada Aiden dan Tyler.

--------------

Jam terakhir terasa sangat lama. Aku mengetukkan jari-jariku setiap detiknya ke meja. Semuanya juga mulai bosan mendengarkan Mr. Kelt bicara.

Akhirnya bel berbunyi.

Aku langsung meluncur keluar dari kelas.

Aku segera pergi dengan tergesa-gesa. Aku sudah bertekad bahwa hari ini aku akan melupakan segalanya. Hari ini tidak ada yang bisa menggugat ku.

Aku membeli es krim dan hotdog hingga aku merasa kenyang. Setelah itu aku beristirahat di bangku taman Mlosire. Taman ini penuh dengan pengunjung.

Aku tahu dibandingkan berduka atas kehilangan Tyler aku malah terlihat bahagia. Perkataan Kate tadi pagi tentangku memang tidak sepenuhnya salah. Aku memang pembawa masalah. Memang sudah menjadi kutukan ku tapi rasanya kadang aku merasa itu semua menyakitkan.

Warna oranye kemerahan mulai mewarnai langit. Aku terlalu lama melamun hingga lupa waktu. Tapi aku tetap tidak beranjak dari bangku taman, aku malahan menatap langit.

Aku sedikit tersenyum.

Andai aku bisa menghilang seperti warna-warni di langit. Batinku.

Aku mulai berandai-andai bagaimana jika aku hari itu tidak Daniel-cowok yang membunuhku dan membuatku terkena kutukan. Aku pasti sudah bahagia sejak dari dulu. Mempunyai anak dan cucu, lalu mendorong ayunan mereka hingga langit mulai senja seperti sekarang.

"Berhentilah memikirkan hal yang mustahil, Liz," kataku pada diriku sendiri.

Aku beranjak dari bangku taman dan untuk sekali lagi melihat ke arah langit oranye yang kemerahan.

--------------------

Aku meraba-raba kasurku untuk mencari ponselku. "Sepertinya aku taruh disini tadi. Menyebalkan!" gerutuku.

Jam dinding kamarku menunjukkan pukul sepuluh malam tapi aku tetap sepenuhnya terjaga.

Aku menyalakan tv plasmaku dan mencari-cari tontonan yang menarik. Hasilnya nihil. Aku hanya menekan remot terus-terusan.

"Dimana sih ponselku," gerutuku lagi. "Tadi masih ada disini," aku yakin sekali tadi menaruhnya di tempat tidur yang berjarak hanya beberapa inci dariku.

Ponselku berbunyi. Nada deringnya membuatku tahu dimana letaknya. Ada dibalik selimutku yang tebal. Tidak kusangka.

Aku mengambil ponselku dengan segera dan melihat ada satu pesan belum terbaca. Nomornya yang tertera tidak diketahui.

Pukul empat sore di gudang flow. Datanglah. Bunyi pesan itu.

Siapa yang memberikan pesan padaku dengan nomor yang tidak diketahui?

Aku menaruh ponselku di nakas. Hari ini aku tidak ingin memikirkan apapun. Biarlah dunia berputar sementara aku diam ditempat untuk sementara.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi aku tetap tidak bisa tidur. Aku hanya bisa memutar tubuhku kesana kemari.

Aku beranjak dari tempat tidurku. Kubuka jendela kamarku dan menyalakan lampu kamarku. Karena kamarku di lantai dua dan kamarku langsung menghadap hutan kurasa tidak masalah membuka jendela ketika hampir tengah malam.

Kuambil novel yang ada di rak buku. Sebenarnya aku sangat suka membaca buku, terutama ketika liburan. Aku suka menghabiskan waktu dengan membaca novel.

Angin malam menerpa wajahku. Aku memang mematikan pendingin ruangan kamarku agar bisa merasakan angin sungguhan.

Ku mulai membaca buku dengan judul Wonderstruck karya Brian Selznick. Aku ingat membeli buku ini di toko buku dust saat aku baru pindah kesini. Tapi aku belum pernah sempat membacanya.

Ketika baru membuka halamannya aku sedikit terkejut karena buku ini tidak seperti novel pada umumnya yang aku baca. Ada banyak gambar ilustrasi di dalam nya.

Halaman demi halaman kubaca buku itu. Aku benar-benar terhanyut kedalam nya. Saat aku membaca buku aku tidak memikirkan apapun selain membuat cerita dalam buku itu bergerak seperti film. Itulah yang kurasakan ketika aku membaca buku Wonderstruck ini. Perasaan yang membuatku jauh dari kenyataan yang pahit, tapi juga menyadarkanku bahwa kehidupan yang pahit juga harus di hadapi.

Aku menguap. Sudah pukul satu malam. Ya ampun ternyata sudah sangat larut. Aku tak sadar sama sekali.

Kutaruh buku Wonderstruck kembali ke raknya. Aku langsung menyelinap masuk ke selimutku. Mataku benar-benar berat untuk dibuka. Jadi aku biarkan saja jendela kamarku tetap terbuka dan terlelap.

Immortal SoulDär berättelser lever. Upptäck nu