42. Ingin diperjuangkan

23.9K 1.3K 31
                                    

Berjuang didalam kesakitan lebih baik daripada berjuang di dalam segala kebaikan..

Kara

Berulang kali panggilan di telfon itu memanggil-manggil sang empunya handphone. Aku hanya bisa memandangnya kaku, menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku menyambut sapaan halo dari sebrang sana atau ku abaikan saja. Apakah tidak lancang bagiku untuk mengangkat handphone yang bukan milikku sendiri? Ini kan handphone milik Javier. Ah aku mulai menggerutu dalam hati, kenapa pula Javier harus pergi menemani Ibu berbelanja kebutuhan pokok tanpa membawa handphonenya?

Nama Tomy kembali muncul di layar handphone milik Javier. Ini sudah kali ke enam kalau ku hitung-hitung. Pikiranku bertanya-tanya, ada apa gerangan Tomy menelpon sesering ini? Apakah ada sesuatu yang penting?

Pertanyaan-pertanyaan dalam diriku mendorongku untuk... pada akhirnya menyahut panggilan itu. Sudahlah, lagipula, aku istrinya kan.. aku berhak juga menerima panggilan dari handphonenya, kan? Iya kan?

Aku berdeham sebentar sebelum aku menyapa Tomy. "Ha...."

"Hey!! Lama banget sih angkat telepon! Udah sampe pegal juga nih jempol mencet-mencet..."

Ups, belum juga aku selesai mengatakan 'Halo', Tomy sepupunya itu justru membrondong dengan seribu amukan.

"Ma..." Aku bermaksud mengatakan lagi: Maaf, ini bukan Javier, tapi Kara. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kalimatku dihadangnya lagi.

"Gimana hasil konsultasi kemaren, Jav? Ada perkembangan, kan? Terapinya berhasil? Terus kata dokter Dermawan gimana?"

Aku mengernyitkan alis. Konsultasi? Terapi? Dokter?

Sebenarnya pembicaraan macam apa ini?

Dan, ada apa pula dengan Javier?

"Halo... Jav? Jav...? Masih disitu, kan?"

Terlalu banyak hal-hal yang tidak ku ketahui. Aku menunggu Tomy mengatakan sesuatu lagi... sembari memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.

Sakitkah ia? Kalau sakit, kenapa dia merahasiakannya dariku? Kalau sakit, kenapa dia nampak baik-baik saja? Bahkan fisiknya tak menunjukkan tanda-tanda kelemahan sedikitpun.

"Jav?" Suara dari sebrang membuyarkan lamunanku. Aku terhentak lalu berdeham kecil. Tomy diam, kuduga ia mencoba mengira-ngira, ada apa dengan perubahan suara Javier.

"Tomy, ini aku... Kara," kataku akhirnya.

"Oh Crap!" Makinya pada diri sendiri.

"Sebenarnya ada apa?" Tanyaku merendah.

"Ngg... Kara, listen... anggap aku tak pernah mengatakan ini. Oke? Sekarang dimana Javier? Bisa aku bicara dengannya?"

"Javier sedang menemani Ibu belanja, Tom. Katakanlah padaku, akan ku sampaikan padanya."

"Ibu?"

"Ya. Dia menginap di panti sejak semalam." Aku menjelaskan. Ku duga, mungkin saja Javier tak menceritakan apapun pada Tomy mengenai rencana menginapnya ini.

"Oh. Ku rasa... lebih aku menelponnya lagi nanti, Kara."

"Tomy..." ucapku melembut. "Kenapa harus merahasiakan sesuatu dari seseorang yang sebenarnya bukan orang asing. Aku istrinya. Jika kau masih ingat." Oh dunia, aku bahkan menyesali ucapanku sendiri... sudah berapa kali sepanjang hari ini aku menyebutkan eksistensiku sendiri? Menegaskan bahwa aku adalah seorang istri... rasanya konyol sekali, apalagi ditengah situasi saat ini. Saat aku hendak meminta persetujuan cerainya. Ada apa sih denganku?

Broken WingsWhere stories live. Discover now