26. Apa yang terjadi?

19.3K 1.3K 36
                                    

Tuhan, mohon singkapkanlah kepadaku hal-hal yang belum atau tidak ku mengerti..

KARA



Siapa sangka para wartawan itu tidak hanya berjaga-jaga di galeriku, tapi juga diluar rumahku. Javier segera menjalankan mobilnya menjauh dari rumah begitu melihat sekumpulan wartawan ada disana. Buruknya, kami tidak lagi pulang ke rumah sekarang ini. Padahal sehabis Javier menjemputku dari galeri, aku sudah mengambil ancang-ancang akan melakukan apa di kamar. Dipikiranku mungkin meminta tolong kepada Bi Asih untuk memijat lembut otot-otot tubuhku adalah solusi terbaik. Seharian ini benar-benar melelahkan. Beban pekerjaan dan pikiran mengenai kehadiran wartawan-wartawan itu sungguh menguras energiku.



Dan sekarang.. semua yang sudah ku ancang-ancangkan itu gagal. Kami tidak kembali ke rumah. Dan itu artinya tidak bertemu dengan Bi Asih.



"Kita kemana sekarang, Jav?" Tanyaku ketika mobil berhenti karena lampu merah. Ku lihat kami sudah berada di jalur inti kota dan menjauhi rumah.



"Hotel."



"Hotel?" Ulangku sembari bertanya.



"Ya. Memangnya mau tidur dimana kita? Apa kau bisa istirahat dengan nyenyaknya di rumah saat wartawan diluar rumah terus saja memburumu? Mereka bahkan bisa saja menhalangi langkah kita saat kita memasuki rumah kita sendiri."



Kita. Aku dengar dan ku rekam perkataan itu baik-baik. Kita. Senang sekali mendengarnya, satu kata itu sudah cukup mewakilkan bahwa kami ini adalah satu. Meski ku tahu, kalimat itu sama sekali tidak bermakna apa-apa untuknya. Ada segaris senyum tipis ku sunggingkan manakala aku mendengar kata 'kita' itu.



"Kenapa tersenyum? Bisa-bisanya kau tersenyum saat keadaan sepelik ini." Javier mengawasiku dari ekor matanya.



Dengan malu-malu, ku gelengkan kepalaku pelan.



Nak, bahagia ini.. haruskan Mama bagi dengan Papamu?



"Jangan terus menerus mengelusnya. Itu tidak akan merubah apapun apalagi mempercepat pertumbuhannya. Dasar aneh!" Dia lagi-lagi mengawasiku. Kali ini gerak-gerikku untuk anaknya yang ku kandung bahkan dinilai salah. Perkataannya seakan menarikku terjatuh dengan paksa ke atas bumi. Baru saja perasaanku membumbung tinggi mendengar kata 'kita' ada dalam kamusnya. Tapi sekarang, cercaan itu kembali ku dapatkan. Mungkin aku yang terlalu perasa.



Jangan diambil hati ya, Nak. Papa hanya belum mengerti.



"Sebaiknya daripada terus menerus mengelusnya, pikirkan saja akan tidur di hotel mana kita?"



Aku mengerjapkan kedua mataku, hampir-hampir tak percaya akan apa yang ku dengar. Dia bilang apa? Kita akan tidur di hotel mana? Seolah apa yang menjadi keinginanku menjadi hal penting baginya. Tapi tidak, aku tak ingin berpikir terlalu jauh lagi.



"Aku tidak tahu hotel-hotel mana saja yang aman, Jav. Kau tahu.. refrensi Hotel menurut sepengetahuanku juga tidak banyak." Aku harus mengingatkannya lagi, bahwa istrinya ini, bukan wanita sosialita dan modern seperti kebanyakan wanita lainnya.

"Benar juga. Bertanya padamu sama saja menanyakan bagaimana cara terbentuknya hujan kepada balita umur dua tahun."



Aku tertawa miris. Sejenis penghinaan? Tidak juga. Aku sudah terbiasa dengan itu. Mungkin akan lebih baik jika menganggap hal itu sebagai guyonan. Sejujurnya, aku rindu bercakap-cakap dengannya sebagai sahabat. Sahabat yang tidak segan-segan saling mencela dalam batasan guyonan. Setidaknya, kalau dia tidak bisa menganggapku sebagai seorang istri. Sebagai itulah aku ingin diperlakukan, sahabat.



"Baik. Jangan membantah jika aku hendak membawamu kemana." Katanya lagi. "Dan silahkan kabarkan tentang ini pada Papa. Ku rasa kemanapun aku membawamu malam ini, sekali ini tingkahku benar-benar akan membanggakannya." Ia tertawa sinis. Aku jadi tahu, ia terpaksa melakukan ini. Dia tidak sungguh ingin melindungiku dari kerumunan wartawan itu, tapi semua dilakukan demi Papa.

Broken WingsWhere stories live. Discover now