9. Penolakan

24.9K 1.4K 5
                                    

Sebelum baca bab ini sebaiknya klik ke lembar selanjutnya (yang tulisan bab 8. Penguasaan diri, krn entah kenapa.. ini jd ngacak susunan antara bab 8 dan 9.) Happy reading!

________________________________________________________________________________________

Saat kau menikah dengan seseorang, itu artinya kau membangun masa depanmu bersamanya. Bukan tentang 'aku' atau 'kamu' tapi 'KITA'

Pria berbaran besar itu menghampiri meja bar yang ada didekat meja bartender. Jaket hitam kulitnya menutupi tubuh besarnya. Siapapun yang melihatnya akan menganggapnya tukang pukul.

Melihat kedatangan pria itu, Javier mempersilahkannya duduk disebelahnya. Tanpa basa-basi, pria bertubuh besar itu memesan satu sloki jack daniel.

"Kau terlambat.." ujar Javier sambil melihat jam tangannya.

"Maaf, Bos. Terakhir saya mengikuti Nyonya hingga ke daerah Bogor. Dan jaraknya cukup jauh darisini."

Javier mengangguk mengerti. Ia tahu benar siapa yang dijumpai Kara di Bogor. Panti asuhan Tali Kasih, tempatnya dirawat dulu, ada di daerah Bogor. Dan hari ini adalah hari ulangtahun Ibu Asuh nya, sekaligus perayaan syukuran di panti itu. Sebenarnya Kara sudah mengajak Javier untuk ikut bersamanya. Tapi, Javier menolak. Alasannya? Tentu saja karena anak-anak. Ia benci mendengar segala celotehan riang anak-anak. Sebenarnya, kalau boleh jujur, ia juga merindukan Ibu asuhnya Kara itu. Harus diakui, Ibu asuhnya itu adalah sosok wanita ter-ramah yang ia pernah temui. Sosok keibuan yang jauh melebihi Ibu kandungnya sendiri.

"Dan perlu Bos tahu.. disana juga ada Damian, si pengacara itu."

Javier tersenyum masam, mendengar nama Damian disebut, sebenarnya ia tidak heran lagi, Damian juga berasal dari panti asuhan yang sama dengan Kara. Hanya saja, saat umurnya menginjak 10 tahun, ia sudah di asuh oleh keluarga kaya raya pengusaha kayu asal Bandung. Namun, lain hal dengan Kara, sampai ia menamatkan kuliahnya, tidak satu keluarga pun mengasuhnya. Sebenarnya bukan tidak ada. Namun ia memilih untuk tidak mau diasuh oleh siapapun, ia begitu mencintai Ibu Asuhnya. Baginya, Ibu asuh nya adalah Ibunya. Ibu yang merawatnya disaat Ibu kandungnya justru membuangnya.

"Sudah ku duga." Desahnya.

"Lalu apa rencana Bos selanjutnya? Apa saya perlu memberinya pelajaran?" Pelajaran yang dimaksud pria bertubuh besar itu tentu saja satu jurus pukulan entah itu di wajah atau diperut.

"Tidak. Tidak. Jangan bertindak sebodoh itu. Jika kau melakukannya, kau justru membahayakan keselamatan karirku." Javier mengibaskan tangannya, lalu ia menenggak satu gelas kecil cocktail yang tersedia dihadapannya.

Pria bertubuh besar itu mengangguk mengerti. Javier tiba-tiba teringat akan kedatangan Kara ke lokasi shootingnya tempo hari yang lalu.

"Kenapa kau tak mengabariku saat Kara hendak mendatangi lokasi shootingku kemarin?"

"Maaf, Bos. Tapi, saya sudah mencoba menghubungi berkali-kali. Hanya saja, Bos tidak menjawab."

Javier mengernyitkan keningnya. Ia mengeluarkan handphone dari saku celananya. Lalu mengecek daftar panggilan masuk dalam handphonenya. Benar saja, ada empat missed calls di jam kedatangan Kara saat itu. Panggilan itu atas nama Zack, pria bertubuh besar itu.

Ketika memastikan ucapan Zack tidak berbohong, ia menutup layar handphonenya lagi. Ah benar, ia pasti sedang sibuk shooting sampai tidak mendengar handphone nya berbunyi sekian kali.

"Bos, sepertinya Nyonya sudah menyadari bahwa ada seseorang yang mengikutinya." Zack berkata begitu karena setiap ia mengikutinya, Kara kedapatan seringkali melihat ke sekelilingnya dengan curiga.

Broken WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang