28. Lebih dari sekedar rasa nyaman

19K 1.2K 36
                                    

Ada yang lebih indah dari sekedar rasa nyaman.. Cinta adalah bagaimana sedapat-dapatnya kau dapat bertahan.

KARA

Aku masih setengah tidak percaya akan benda yang ada di genggamanku sekarang. Bulu-bulunya masih bagus, meski warnanya tidak seperti warna awalnya tapi wanginya harum, buruknya hanya satu.. simpul pita yang ada di lehernya sudah hilang. Aku membuka plastik pembungkusnya. Didalamnya terdapat kertas bon berwarna kuning dari tempat laundry. Ku perhatikan tanggal penulisan di bon itu, kapan sekiranya barang ini dibawa masuk ke dalam laundry. Nah, dapat!

Aku mengernyit penuh tanya sekarang. Tiga hari lalu?

Sebut saja benda ini bernama Marsha. Tidak, tidak. Bukan sebut saja. Memang itulah namanya. Boneka teddy bear cokelat ini kenyataannya ada di genggamanku sekarang. Ku letakkan diatas kedua pahaku.

Beberapa menit lalu, aku mendapatkan boneka ini dari Bi Asih. Bi Asih yang tiba-tiba saja melintasi ruang tamu, datang membawa boneka itu. Aku yang memang mengenali itu boneka apa, sontak melangkah lebar-lebar mendekati Bi Asih, seperti menghalangi langkahnya, ia sedikit kaget melihat kehadiranku dihadapannya.

"Itu boneka apa, Bi?"

"Eh.. Nak Kara.. ngagetkan saja toh.." Bibi mengelus dadanya.

Aku tersenyum penuh maaf. "Boneka darimana, Bi?"

Bibi mengamati boneka dipelukannya itu. Dari sorot matanya, ia sendiri tampak keheranan. "Tidak tahu, Nak. Bibi dapat ini dari Mang Darman. Tadi pagi Tuan Javier yang menyuruh Mang Darman untuk ambil boneka di laundry. Mang Darman baru sempat mengambilnya dari laundry sore ini. Kata Mang Darman sama Bibi, simpan saja bonekanya di kamar Bibi dulu tunggu sampai tuan Javier pulang."

Aku mengangguk mengerti. "Kalau begitu saya saja yang simpan, Bi."

Tanpa mempertanyakan apapun, Bi Asih menyerahkan boneka itu padaku. Dan disinilah ia sekarang, ada dihadapanku. Pikiranku dipenuhi beribu pertanyaan: Bagaimana bisa boneka ini ada disini? Apakah Javier menyimpannya? Kalau iya, untuk apa dia repot-repot membersihkannya sampai-sampai di laundry segala? Semakin banyak pertanyaan dan aku tak mampu menjawabnya. Satu-satunya jawaban hanya ada pada Javier.

Tapi, meski aku tak mengerti, jauh dalam lubuk hatiku, aku menyenanginya. Boneka kesayanganku sejak kecil, masih utuh, masih bagus. Aku memeluknya erat. Sore ini, aku seperti diajak bernostalgia ke masa lalu. Ingatan mengenai Javier kecil menari-nari dalam kepalaku. Aku masih ingat salah satu kejadian yang ku yakini benar, inilah titik awal aku menaruh perasaan padanya.

"Nanti kalau kita sudah besar aku maunya Kara aja yang jadi istri aku." Javier kecil berkata dengan riangnya, kalau ku ingat, dia sedang duduk bersila menungguku memasak dedaunan menggunakan mainan masak-masakan.

"Memangnya kenapa?" Dengan lugunya aku bertanya.

"Supaya setiap hari ada yang masakin aku makanan enak kayak begini." Ia berkata sambil menunjuk-nunjuk dedaunan yang kupotong-potong. "Masakanmu pasti enak."

"Kalau gitu, kalau sudah besar aku mau berusaha untuk jadi istri yang baik buatmu. Tapi nanti ya.. tunggu Kara ketemu Papa Mama kandungnya Kara, soalnya biar ada yang nerima lamaranmu nanti."

"Enggak usah.."

"Kenapa enggak usah?"

"Iya. Soalnya aku sayang sama Kara kan enggak harus nunggu Kara jadi yang baik dulu. Kara begini saja.. aku tetap suka sama Kara. Meskipun Kara anak yatim piatu, aku tetap suka sama Kara. Aku bakal lamar Kara sama Ibu Mirna aja!" Pipiku menghangat mendengar kalimatnya. Aku yang waktu itu berumur enam tahun, tidak tahu bagaimana rasanya dikasihi orang tua atau pun saudara kandung.. mendengar perkataan Javier bukankah hal yang wajar bagiku untuk mulai menyukainya saat itu?

Broken WingsWhere stories live. Discover now