39. Upaya perdamaian

22.2K 1.3K 53
                                    

Doa mengubah segala sesuatu..

Javier

"Ceraikan aku."

Aku tak percaya kalimat maut itu keluar dari bibir indahnya. Bak petir di siang bolong, semua datang seolah ingin menghanguskan duniaku. Suaranya terdengar tenang tanpa amarah sedikitpun, sama sekali tidak menggelegar seperti bunyi petir pada umumnya. Tapi aku tahu, dalam ketenangannya ia menyimpan sejuta amarah, kekecewaan yang selalu ditutupinya dengan baik.

Aku mengulurkan tanganku menyentuh pipinya.

"Kau boleh meminta apapun, kecuali yang satu itu. Aku tidak akan mengabulkannya."

Kara membuang tatapnya ke arah lain, ia menjauhkan wajahnya dari belaian tanganku.

"Dasar egois."

Aku menjulurkan tanganku lagi untuk menyentuh pipi lembutnya itu, kali ini aku tak akan menyerah. Tentu saja karena dia istriku, aku berhak melakukan apapun... apalagi sekedar membelai wajahnya.

"Aku semakin bergairah kalau melihatmu marah begini.." aku semakin merapatkan tubuhku ke arahnya dan mencoba menggodanya, hanya agar ia melupakan soal perceraian ini. Ku harap ini berhasil, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Belum sempat aku merapatkan tubuhku, Kara meletakkan jari telunjuknya ke dadaku. Menahan gerakku, menolak tubuhku.

"Jangan coba-coba," katanya tegas namun tetap tenang.

Aku semakin paham dia tidak bermain-main dengan ucapannya. Ada kilatan amarah dari pancaran bola matanya. Sementara, dari pantulan bola matanya itu bisa ku lihat sendiri diriku di dalam sana sedang menatapnya sendu. Mengapa dia tidak bisa melihat hal yang sama? Tak tahukah ia bahwa aku terluka?

Aku mengambil jarak sedikit dari keberadaan ini, aku sadar dia perlu ruang.

"Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku, Javier. Ku harap kita sepakat."

Aku menarik sudut bibirku ke atas, tertawa miris. Aku sedang menertawai kesialanku sekarang. "Di mataku kemarahanmu tidak pernah mengenal kata sungguh-sungguh, kecuali keinginan sesaatmu... bisa jadi itu sungguh-sungguh."

"Terlalu kekanak-kanakan... kau kira aku apa? Dirimu yang selalu dengan mudahnya berubah mood?" Dia tertawa sinis, aku sadar betul dia sedang menyindir. "Aku bahkan tidak mengenal apa itu keinginan sesaat. Jalanku pasti."

Aku menelan ludah mendengar ucapannya, sejujurnya mengikuti emosiku, sudah barang pasti wanita dihadapanku ini ku aniaya. Namun, mengingat apa yang terjadi belakangan ini, aku mulai belajar banyak. Lagipula dokter Dermawan berulang kali mengingatkanku untuk tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.

"Dengar, aku tak akan menyepakati apapun yang membuat kita terluka."

"Apa? Kita? Hah...." Kara menahan tawanya yang malah terlihat seperti senyum mengejek. Seolah apa yang ku katakan salah.

Aku meletakkan kedua tanganku diatas bahunya. "Perpisahan ini akan membuat kita semakin terluka, Kara. Aku mencintaimu... ku katakan ini meski terlambat. Dan kau harus percaya ini, aku bahkan bisa mendengar dengan jelas teriakan dasar hatimu yang mengatakan hal serupa juga. Lalu, kenapa kita harus memisahkan dua hati yang masih saling menyayangi? Tidakkah itu kedengarannya sangat.... jahat?"

"Kau terlalu yakin dengan apa yang kau katakan, Tuan." Ia menjauhkan kedua tanganku yang berada diatas bahunya. Penolakan lagi rupanya.

Aku menarik napasku perlahan. Coba tenang, Javier. Tenang. Berulang kali ku tegaskan itu dalam hatiku.

"Ayo... kita berangkat. Aku tak sabar ingin bertemu Ibu," kataku mengalihkan pembicaraan seraya melirik jam tanganku. Aku tak ingin berlama-lama dalam pembicaraan ini, ku harap ia lupa manakala aku mengingatkan soal Ibu.

Broken WingsWhere stories live. Discover now