38. Keputusan

23K 1.4K 46
                                    

Titik akhir sebuah perjuangan bukan pada berapa banyaknya kita terjatuh, tapi ketika kita menyerah.

Kara

Sepeninggal Damian dan Airin, aku memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Sebenarnya, tidak jelas aku menonton apa. Yang ku lakukan hanya membuang waktu, hanya agar ruangan VVIP ini tidak terasa sepi. Mataku menelisik setiap sudut ruangan ini. Aku mendesahkan napas ketika ku lihat makan siang yang baru saja diantar petugas rumah sakit teronggok begitu saja diatas meja makan pasien. Aku sama sekali tak berniat menyentuhnya.

Suara pintu kamar terdengar seperti dibuka. Aku menolehkan wajahku ke arah pintu, hendak memastikan apakah benar ada orang yang datang.

"Hai," suaranya menyapa sebagai tanda kedatangannya. Kontan aku membuang tatapku ke arah lain, ketika ku dapati ia, datang dengan menenteng beberapa jenis buah-buahan.

Ia berjalan ke arahku kemudian meletakkan buah-buahan itu di meja, tak lupa ia mengecup keningku.

"Kenapa belum dimakan makanannya, Sayang?"

Lucu bukan, kenapa disaat seperti ini panggilan sayangnya justru terasa mencabik-cabik hatiku? Bagai pisau yang merobek-robek hatiku. Bukannya menambal hatiku yang terluka tetapi justru menambah perihnya.

"Kau harus makan. Nanti bisa sakit."

Javier, adakah yang lebih buruk daripada sakit karena kehilangan?

"Makanannya tidak enak ya? Mau ku belikan sesuatu?"

Betul saja, dia memang tidak pernah tahu. Mengapa dia masih saja mempersoalkan masalah makan dan tidak makan? Tidak tahukah ia bahwa seorang ibu tidak akan pernah mementingkan soal penghidupannya bila anaknya pergi entah kemana, menghilang bagai uap.

"Ayo sayang, mulutnya dibuka ya...." tiba-tiba saja sendok itu sudah ada di depan wajahku, lengkap dengan isinya, itu menu makan siangku.

Aku menggeleng dan tetap mengatupkan mulutku.

"Atau kita pergi cari suasana baru sebentar? Mau jalan-jalan ke taman rumah sakit? Tapi habis ini makan ya."

Aku memilih diam. Tidak ada gelengan kepala atau reaksi apapun. Aku cukup diam. Semoga dia mengerti bahwa sikap diamku adalah penolakan akan kehadirannya.

"Kara, aku mohon. Setidaknya kalau kau tidak mau melakukannya untukku, lakukan itu demi Marsha. Dia bisa sedih kalau lihat Mamanya terus menerus sedih dan tidak mau makan."

Aku cukup tersentak ketika ia menyebutkan nama Marsha. Selama ini, dia bahkan tidak mau mengakui bahwa anak itu adalah anaknya. Apalagi menyebutkan namanya.

Benar itu Nak, apa memang kamu sedih kalau lihat Mama tidak makan?

Sekali lagi, Javier mencoba apa yang tadi dilakukannya. Ia menyodorkan sendok itu berisi makanan itu, kali ini sangat dekat dengan mulutku. Mau tidak mau, karena ia menyebutkan nama Marsha, aku membuka mulutku.

"Nah, gitu dong," katanya ketika dilihatnya makanan itu sudah masuk ke dalam mulutku.

Ironis sekali, Javier mengukur tingkat kesedihan Marsha hanya dari makan atau tidaknya aku ini. Pernahkah dia sedikit berpikir, bahwa Marsha jauh lebih sedih ketika mendapati dirinya tidak bisa terlahir ke dunia ini?

Bodoh, untuk apa aku bertanya begitu padanya. Tentu saja dia tidak akan pernah tahu.

"Kata dokter, besok sudah bisa pulang. Senang kan, bisa pulang ke rumah?"

Aku lebih senang jika kau mengembalikan Marsha-ku, Jav.

"Kau juga bisa aktif di galerimu lagi kalau kau mau."

Broken WingsWhere stories live. Discover now