Come Back and Let Go

312 9 3
                                    

Sepulang sekolah.

Mataku sudah tidak banjir lagi karena dihibur beberapa kenakalan temanku yang diluar batas untuk mengocok perut. Bahagianya bisa masuk kelas ini, seakan semua kejadian yang baru saja datang membawa banyak hikmah. Aku tak memikirkan Galaksi lagi, dan fokus pada Dihan walau tangisku berlebih. Tapi agak lebih membahagiakan tangis yang didasarkan kekhawatiran dibanding tangis yang disebabkan oleh tersakiti, bukan?

Sesampainya dirumah, aku langsung menghubungi orang-orang yang ingin ikut menjenguk bersamaku untuk melancarkan rencana. Niatnya, kami akan membawa baju ganti, dan sepulang sekolah, kami pergi ke rumah Zhasalsi, bersiap-siap menuju groceries lalu membeli buah-buahan yang dibentuk parsel. Dan menurut Evana, yang pernah jadi partner suatu ajang bergengsi dengan Dihan, Dihan amat menyukai susu. Jadi kubeli dengan kemasan berwarna biru. Lalu kami sudah merasa semua rencana akan berjalan baik, maka kami memutuskan untuk istirahat dan siap-siap untuk hari esok.

Walau sebenarnya mentalku ciut berhadapan dengannya nanti saat menjenguknya.

Apakah aku akan menangis atau berwajah merah padam karena malu berkata seperti apa, apakah nanti bakalan awkward, dan semacamnya. Tapi, tenang, Kisen. Selama ada Chiro, Zhasalsi, Moona yang begitu semangat untuk ikut, dan Evana, aku lega, aku yakin aku tak akan sendiri.

Saat mataku mencoba terpejam lebih awal malam ini, suatu suara BBM membuka mataku kembali. Lagi-lagi suaranya menyentuh daun telingaku secara dekat, lalu menyadarkanku.

Galaksi Airarthur.

Ada apa lagi, sih? Beraninya datang saat aku akan datang pada Dihan esok hari?

"Kisen," Galaksi memanggilku. Sayup-sayup terdengar bagaimana suaranya memanggilku, dari caraku membaca teks tersebut.

"Ya?"

"Tadi kenapa nangis?"

Mataku serasa ingin meloncat walau berat, seakan oh my God Gala lo kenapa!? Tapi kutahan, memikirkan jawaban terbaik, agar aku juga tak jatuh pada lubang yang sama.

"Ya nangis aja. Namanya juga manusia." Jutekku.

"Gara-gara kak Dihan, ya?" Tebakan Galaksi memanaskan wajahku. Aku tak tahu harus bingung atau tertawa.

"Ya begitulah."

"Jangan nangis lah, dia aja sabar hahaha," candanya, walau kubaca dengan nada datar.

"Iya iya. Terserah gue dong."

"Dia aja, um, katanya gak sedih ya? Masa' lo sedih? Gimana sih?" Gelagat nyolotnya keluar. Aku terpingkal tanpa kusadari.

"Iya yaudah elah. Mau tidur nih." Lebih baik kuhentikan sekarang.

"Inget ya awas lo," ancam Gala. "Terus kapan mau jenguk dia?"

"Kapan? Besok aja lah. Lebih cepet lebih baik,"

"Nah. Kan kalo kayak gitu, lo gak usah menanggung malu nanti,"

"Maksudnya?" Galaksi rada susah dalam menjelaskan, tapi mudah untuk nyolot.

"Kalo misalnya di entar-entar, dia keburu pulang 'kan?"

Galaksi ada benarnya juga. Mana mau orang betah berlama-lama di rumah sakit. "Ya."

"Terus dia jadi di amputasi?"

"Ya, Gala."

Hening.

"Eh, Gala," sapaku lagi. "Gue takut gue nangis nanti, disana, dikamarnya, takutnya gue gak siap ngeliat dia kayak gitu,"

Ah, jadi curhat panjang lebar.

"Nah jangan!! Dia lagi sedih lo liat dia pake nangis? Ya dia makin sedih lah pea,"

Aku tertawa. "Iya iya pea,"

"Lalu?"

"Ya apa? Hahaha," aku tertawa lagi, serasa kami memang chat sepanjang waktu.

Lalu kami chat sepanjang malam, berlarut-larut, seakan begitu mudahnya aku jatuh dengannya lagi.

**
Dihan memang tidak begitu dekat denganku. Namun jika menyangkut dia, dopaminku meningkat. Kurasa kuadalah orang yang mudah memikirkan hal berat bahkan bisa terbawa ke jiwaku sendiri, sekalipun Dihan tak pernah menyapaku lebih dulu.

Kumenemukan Dihan berpakaian rumah sakit--kemeja berlengan panjang dengan logo kesehatan di dada kiri--duduk tanpa infus di suatu kursi, semacam kursi kayu sekolah. Diriku gemetar mendekatinya, lalu tiba-tiba tangisku pecah. Sontak Dihan menengok ke arahku, ia tersenyum padaku, senyumnya sangat, sangat manis. Jika senyumnya punya kadar gula, ia sukses buatku diabetes tingkat paling bahaya.

Aku tak memperhatikan lengannya, karena tak sanggup, karena pandanganku buram pula. Bibirku yang sudah siap melapalkan kata-kata semangat agar ia bisa masuk sekolah lagi, dan tak membebani diri, justru malah diam, membeku, membisu. Malah tangis yang mengungkap bahwa aku sangat sedih karenanya. Tanganku tergelak menghapus bulir air cepat-cepat, namun Dihan malah tertawa di kursi itu, seraya mengatakan--

"Kisendrian, gak usah khawatir. Aku baik-baik saja."

Suaranya amat ceria walau lebih lirih dari biasanya, ia adalah orang tersabar yang pernah kutemui, ia menggaruk belakang kepalanya sembari cengengesan. Matanya yang kecil semakin menyipit, karena tawanya, dan mataku juga, namun karena tangisku.

Lalu aku berlalu. Ia pergi.

**

"Astaga." mataku membuka lebar saat melihat jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Tubuhku melompat, mengecek keperluanku nanti, dan segera berlari ke kamar mandi. Tubuhku hangat, jantungku berdebar. Today. Hari ini. Di penghujung bulan ini, ku akan bertemu dengannya, tapi sanggupkah aku?

Mimpi yang kelam. Aku masih mengingat-ingat mimpi itu. Dihan sangat jelas berada di depanku, terkesan nyata. Aku tak percaya bisa bertemu dengannya di dalam mimpi. Ia tetap dengan senyumnya, namun karena mimpi itu, aku tak bisa seceria ia saat di mimpi. Aku takut mimpi menunjukkan sesuatu.

Aku memandangi tubuhku di cermin kamar mandi, dan betapa terkejutnya aku, saat kudapati badanku penuh bintik-bintik merah. Aku berteriak. Untung tak terdengar, sih. Tapi tetap saja. Aku takut. Aku tahu aku tak bisa mundur, ini adalah hari yang kunantikan. Jadi lebih baik kutak cerita pada siapa pun, karena bisa saja menghalangi langkahku, lalu hari ini tak pernah terjadi.

Aku mulai mendiagnosa diriku sendiri--demam berdarah? Cacar? Atau karena sangking excitednya?

Dan, serius. Hari itu, pikiranku pergi kemana-mana, tapi tetap satu tujuan.

Dihan, tunggu aku disana.

GalaksiWhere stories live. Discover now