Sepotong Kisah Kelas Baru (2)

729 22 1
                                    

Tampak luar begitu kusam. Dipojokkan, jauh dari pandangan, tak dipedulikan, namun strategis. Saat melihat dari kejauhan kau akan menyesal menghabiskan hidup setahun kedepan di ruangan itu. Namun, saat kau berpaling menuju dalam ruangan, kau tak bisa berhenti bersyukur. Don't judge a book by a cover it's real. Saat aku berusaha menyerobot untuk mengetahui kelasku, aku takjub. Aku terdiam. Aku memandangi kelas ini.

Cerah, bersih, sejuk, luas, dan putih. Jendelanya langsung menghadap ke green house. Tanpa lampu, semua sudah terang. Kipas angin tidak seadanya, ada dua dan menyala cukup besar. Nyaman sekali.

Kursi dan meja dibentuk huruf U sebanyak dua barisan. Aku mendapat barisan pertama atau barisan depan bersama Chiro, Hessa dan Hessa's bestie, serta beberapa anak lainnya yang tak kukenal. Aku duduk dipaling ujung, menengok jika ingin melihat guruku, pulang-pulang harus tempel koyo atau semacamnya agar tidak linu. Ternyata susah juga duduk seperti itu dan aku membencinya.

Sebelumnya kupikir Hessa yang duduk disebelahku, terlihat dari aku yang mengkode dirinya dengan cara selalu jalan sedikit mepet saat menuju kelas ini. Aku bermaksud bahwa kita harus terus berdua, karena aku belum bisa adaptasi sendiri.

Sialnya, Hessa duduk di ujung yang lain dariku, disusul bestienya dan Chiro. Mereka bertiga asyik mengobrol apa saja yang tidak kuketahui. Tetapi aku tetap tertawa dan pura-pura mengerti. Namun, alasan utamaku tertawa karena melihat ekspresi bestienya Hessa. Jika ia tertawa, matanya menghilang, hidungnya naik, mulutnya mangap. Ekspresinya didukung oleh suaranya yang membuat banyak orang melirik sinis. Dan jika sudah hening, awkward moment kembali terjadi. Aku juga membenci ini.

Dari barisan kedua, barisan dibelakangku, terdengar banyak sekali suara perempuan. Aku beranikan diri menengok ke belakang, dan kudapati banyak siswi sekolah Y disini. Tingginya tak perlu diragukan. Melebihi diriku, bahkan Chiro yang kulihat saja sudah mendongak. Wajahnya wajah pembully dan sedikit sinis terhadapku. Mereka sepertinya memiliki gizi yang baik, syukurlah.

Tetapi tunggu. Aku jadi berpikir bahwa dengan adanya aku yang 4K (Kurus, Kering, Kerontang, Kurang gizi) atau 4K+MOS (Kurus, Kering, Kerontang, Kurang gizi+Mirip Orang-orangan Sawah), maka habislah aku jika aku menjadi korban bully disini. Jika memang mereka adalah pembully ulung, hanya sekali hembusan nafas dari hidung, aku bisa terbang sampai sekolah lama lalu hancur berkeping-keping. Aku jadi takut, keringat dingin bercucuran.

Ditambah lagi, saat aku melihat kedepan, terpampang jelas wajah rivalku sejak sekolah lama dimulai, Alam. Aku speechless, merasa kesal. Aku selalu berdoa untuk tak pernah sekelas lagi dengannya, karena sungguh, muak sekali punya seorang rival. Semuanya yang menurut banyak orang sangat tinggi, jika rival kita lebih tinggi lagi, kita hanya sesuatu yang tak bernilai dan tak ada artinya. Untuk itu kau harus menguras otak lebih dalam, namun aku membenci hal itu.

Tanpa sadar, hal ini buatku mengeluarkan air mata. Di pikiranku yang negatif, aku akan menjadi korban bully, anak yang disingkirkan, atau semacamnya yang menyedihkan. Apalagi dengan adanya Alam, semuanya menjadi tersendat untukku. Aku tak bisa adaptasi dan tak mempunyai banyak teman seperjuangan satu sekolah disini. Ya, cepat atau lambat aku akan sengsara disini. Kembali aku menghapus air mataku.

Aku merasakan keheningan dan tatapan aneh Chiro dkk saat mereka tahu aku mengelap air mata. Tenang, ini bukan salah kalian! Tapi tetap saja Chiro memberi raut wajah, "Hei, kau kenapa?" walau ia tak bisa ungkapkan lewat kata-kata.

Habis, bagaimana lagi. Jika aku membiarkan air mata jatuh begitu saja, ada kalanya tiba-tiba mereka sudah ditemukan tenggelam di dalam banjir air mata se-ketiak. Sungguh menjijikan.

Kembali kuperhatikan sekeliling, ternyata aku masih beruntung mempunyai 3 teman satu sekolah. Ada yang hanya sendirian disini dan aku sangat prihatin dengan mereka. Kutatap kembali keseluruhannya dan terfokuslah aku pada suatu tempat yang berseberangan denganku, barisan para laki-laki beruntung. Barisan belakang ada 5 orang, sepertinya semuanya berbadan tinggi-kurus, lalu 4 orang di barisan depan termasuk Alam. Semua wajahnya cerdas, dan aku semakin ragu dengan rangkingku kedepannya.

Tunggu.
Kulihat lagi keseluruhan kelasku, beruntung sekali aku mendapatkan ujung barisan yang mempermudahnya. Tetapi, apakah benar penglihatanku ini? Hanya 9 orang laki-laki!?

GalaksiWhere stories live. Discover now