1/4

653 22 0
                                    

Namanya Lanni. Rambutnya pendek sebahu, digerai begitu saja dan dihias dengan bandana, benar-benar melanggar aturan sekolahku. Ia berkacamata dan bisa dibilang cukup cantik serta semok untuk ukuran remaja. Saat ada kesempatan kosong di hari pertama kelas baru, Lanni dengan akrabnya menyuruh kami menulis sesuatu dikertas yang ia bawa kemana-mana. Kertas robekan buku itu menulis--bukan surat cinta--apalagi pendapat mengenai dirinya--tetapi ID Line. Luar biasa, hal yang pertama kali bukan mengetahui nama, melainkan ID Line. Entah apa yang diminta lebih dulu di generasi kedepan nanti, yang jelas, akan lebih luar biasa lagi.

Aku menulis ID-ku dan sesekali melihat adakah ID Line yang bisa kukenal. Hampir semua kuperhatikan, dan semuanya tak ada yang masuk ke otak. Percuma.

"Terima kasih, ya," ujar Lanni. Aku tersenyum, ia begitu ramah dan percaya diri. Lanni juga rajin bagiku. Yang lain hanya memikirkan untuk cepat pulang, namun ia menyempatkan diri mengunjungi semua anak dan pegal-pegal memberikan senyum ke semuanya.

Balik lagi aku melihat keseluruhan kelas, menatapi 9 laki-laki itu. Saat semua berdiri, aku bisa melihatnya jelas. Rata-rata dari mereka hanya satu orang berjenis kelamin laki-laki yang mewakilkan sekolahnya, termasuk Alam. Wajah mereka tak ada yang menunjukkan kebahagiaan, bahkan beberapa seperti merana.

Ada yang tinggi sekali, tinggi saja, dan pendek. Ada yang 4K, 4K+MOS, ada yang sangat berisi. Saat mereka di bentuk untuk bergabung, suasana lebih awkward dari aku dan Chiro. Atau memang wajahnya seperti itu?

Hanya 1/4 dari keseluruhan jumlah anak dikelas sangat membuatku shock. Bagaimana tidak, ini terlalu sedikit dari sepanjang sejarah sekolahku! Mereka terlihat sungguh jaim, namun ada pula yang terlihat bad boy. Tapi tampang mereka cerdas. Absurd.

Jika hanya 1/4 dari kelasku, bagaimana aku bisa menunjukkan ke Ratri sahabat laki-laki? Ratri beruntung, di kelasnya banyak laki-laki yang ia kenal. Sementara dikelasku hanya Alam, yang sudah lama ingin kulupakan dan sok tidak kenal. Aku kalah, ya, kalah.

Pulang sekolah aku mengecek Line. Grup kelasku yang dulu ramai membicarakan kelas baru, sementara saat itu aku lebih tertarik dengan satu kalimat ini:

Lanni mengundang anda ke Grup .2

Hebat! Ia langsung terpikir untuk membuatnya. Anak remaja masa kini, ya.

Aku join multichat itu, dan beberapa menyusul. Beberapa jam, multichatnya tetap krik dan krik. Aku yakin banyak yang sebenarnya ingin sekali memulai percakapan, tetapi bingung berkata apa. Alhasil, aku tergerak untuk menulis "Halo semua,"

Ah terlalu sesuatu kayaknya. Ubah, "Halo!"
Sok asyik. Ubah, "Halo,"
Datar banget. Ubah lagi, "Hai,"

Sent.
Read by 2.

Syukurlah ada yang read. Sudah kuduga banyak yang menunggu.

Pesanku balapan dengan suatu  pemberitahuan yang berbunyi:

Galaksi bergabung dengan obrolan.

Pemberitahuan itu tepat sekali diatasku dan aku yakin akan satu hal, ia adalah salah satu sider chat pada detik itu.

"Halo," Galaksi membalas sapaanku, diikuti Lanni dan lainnya. Aku tersenyum, ramah juga.

Galaksi.
Pasti bukan nama orang. Jika ada nama orang yang terinspirasi dari Galaksi, seharusnya bernama "Bima" atau kalau tidak, ya "Sakti" atau bisa jadi keduanya, "Bima Sakti". Namun ia bernama Galaksi--pasti ia tergila-gila dengan Galaksi dan mengubah namanya. Norak.

"Siapa nama aslimu? @Galaksi," tanyaku ragu-ragu. Ia membalas dengan cepat, "Panggil saja Gala,"

Hei yang kuminta nama aslimu, bukan nama panggilan, bodoh!

"Okay, Gala." aku menutup multichat dan melihat ke grup kelas lamaku yang lagi seru-serunya. Seketika aku teringat lagi dengan Gala, ia laki-laki, ya?

"Gala, kau laki-laki?" Aduh, tak sopan. Lebih baik aku cari tahu sendiri. Dari cara ia mengetik dan memakai profpic hitam, sepertinya ia laki-laki.

Nama yang menarik. Aku harus tahu dirinya. Kembali kuhembuskan nafas panjang dengan hiasan senyum yang mengembang.

GalaksiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora