Untuk Apa

325 20 0
                                    

Perang Dingin yang tak kunjung usai memang membuatku tertekan. Rasanya seperti sakit sampai ke tulang dan segala sumsumnya, tapi sudah menjadi santapan sehari-hariku. Dia, makin kutatap makin buatku merana. Coba bayangkan, kau tidak boleh bercakap-cakap dengan seseorang yang kau cintai? Rasanya pasti sakit. Terkadang harus kupaksa bibirku untuk membuat lengkungan ceria, walau hati ini terus berkata tidak.

Hari-hari berlalu lebih lama bagiku. Tak terasa sudah 3 minggu diri ini tak berbicara dengan Galaksi. Tak bicara lisan, tak bicara pesan, hanya aku yang berpikir sendirian. Yaa, mungkin, ini adalah pelajaran untuk seseorang yang berani dekat dengan orang yang sudah punya kekasih. Mungkin ada yang berteriak, jika memang kau berani bertindak, disitu kau harus berani bertanggung jawab. Setidaknya, berani untuk merasakan hal akibatnya.

Tetapi Galaksi memang laki-laki beruntung. Jika ia memberi pesan padaku, aku lah yang dimarahi. Jika ia menatapku, dari jauh Wedka mungkin sudah menyumpahiku. Galaksi bisa ke Wedka jika cinta, bisa ke Kisendrian bila butuh. Memang, ada saat butuh tidak enak. Tapi menurutku, bila memang hidupmu dimanfaatkan orang lain, berarti hidupmu bermanfaat. Tak sia-sia kau hidup. Ambil sisi positifnya saja.

Lagipula mungkin, memang aku yang senang bila Gala membutuhkanku. Cinta memang tak memandang apa pun. Love is blind. Cinta membuatmu bodoh. Cinta membuatmu gila. Uh, lupakan saja.

Tapi, bagaimana bisa?

**
"Hari ini, olahraga atletik. Pakai seragam kalian, mari ke lapangan."

Ya ampun, lari? Melompat? Berguling? Dengan tanah seperti itu? Gila. Apa dayaku yang bisa saja dimarahi ibu telah mengotori banyak hal. Apa dayaku yang tak bisa berlari kencang. Apa dayaku yang tak bisa mendapatkannya.

Sudahlah, bukan saatnya untuk membahas dirinya. So much pain if i see you, so much cry if i think 'bout you. I fuckin' hate you, but i still stay in the same place just to explain how much i love you. It hurts when i know i'm so dumb to be one part of your life. Hate you, love you.

**
Setelah menerjang berbagai rintangan, menabrak para angin yang lewat, menebarkan bau keringat tak sedap, demi nilai yang berkisar antara 78-95 tersebut, aku mulai meluruskan kaki. Kulihat ten boys pointtwo santai saja tanpa memakai sepatu, berlari atau sekedar bermain biasa. Memang aneh, mereka tak ada niatan untuk bermain sepak bola. Aku tak mengerti jalan hidup mereka sebagai remaja lelaki. Mungkin mereka lebih memilih untuk berpikir tentang pengetahuan dan ilmu-ilmu otak kiri daripada olahraga yang mengandalkan otot. Berkata dan berpikiran jorok pun, tidak pernah. Ini aneh.

"Maaf, maaf! Permisi!" Suara gaduh dari barisan laki-laki mulai menerjang para perempuan yang sedang mengatur nafas perlahan. Mereka pun langsung memberi jalan. Beberapa anak perempuan terlihat seperti kaget, ingin bicara tapi tercekat, bahkan segera ikut mengerubung bersama laki-laki. Termasuk Mimayes dan Moona.

"Ihh kamu kenapa!!?" Suara itu sangat panik. Seperti suara Mimayes yang seperti biasanya. Aku lihat Moona yang kepalanya sedikit muncul dari orang-orang yang mengerubungi, dan wajahnya sangat kaget. Ia mulai masuk ke tengah anak-anak itu dan sepertinya dengan posisi merendah. Ada apakah?

Hati ini penasaran, tapi kaki berteriak kecapekan. Jadi kucoba tanya ke siapa saja yang dekat denganku.

"Ada apa? Kok rame,"

"Ituu ada yang terluka! Katanya kena paku, seram deh! Kayak kebelah gitu jempolnya!" Kata seorang teman sekelasku yang tak kuingat wajah dan namanya.

"Iyaa, darahnya ngucur! Serem!"

Terdiam kuingat mental Dokter Kecil sejak SD yang mulai mendorongku menolong orang itu. Heran, kok bisa? Sepertinya harus kuberi obat merah setelah dicuci, ada tidak ya--

"Galaksi!" teriak Moona.

**
Langkahku terhenti. Jadi ragu untuk melihat keadaannya atau tidak. Apakah jempolnya masih utuh, aku juga tak tahu. Tapi jika memang aku melihatnya, nanti muncul percakapan diantara kita. Muncul lagi perasaan sakit yang sedikit-sedikit mulai ku ikhlaskan. Sekali pun kita tak berucap, entah Gala tak menjawab omonganku misalnya, itu makin buatku tertekan. Rasa serba salah ini memang menyedihkan. Tapi Moona sudah mencuri start. Ia seperti ingin memberi lap agar darah yang katanya tak berhenti keluar itu dibersihkan. Tidak bisa begini. Mau tidak mau, aku harus maju.

"Misi! Aku mau liat!" Desakku dari belakang. Orang-orang pun langsung membuka jalan, syukurlah.

Aku dapati seorang Galaksi Airarthur sedang duduk dikursi, dengan celana yang digulung pendek, kaki kanannya yang tergeletak dikursi lain dengan tisu yang menahan. Terlihat ada luka sayat dari ujung ibu jari sampai ke kuku-kukunya, luka yang cukup panjang, dan darahnya terus mengalir. Tapi tak ada perasaan gugup yang terpancar dari wajah sang pemilik kaki, sementara yang lainnya saja bagai ingin memanggil ambulan. Aku masih diam, lalu Gala menatapku.

"Kok bisa?" tanyaku, tapi untuk siapa saja. Mau Gala yang jawab, kek. Mau temannya, Ahmad, atau Haezer, atau Rifqi yang jawab, kek, terserah. Lagipula, 'kan, kita tak boleh berbicara lagi, Galaksi.

"Tadi lagi jalan gak liat ada paku hahaha," ucap Haezer.

"Hati-hati, dong, hehe," "Gala, udah pake obat merah?"

Ups, keceplosan. Bagaimana ini. Apakah aku melanggar aturan? Apakah tidak apa jika hanya mengucap beberapa kata? Keringatku bercucuran banyak karena dua hal. Ketakutan akan darahnya yang lumayan banyak--aku takut jika ia bisa-bisa kekurangan darah, atau infeksi dari paku berkarat atau apalah--dan takut untuk dampak selanjutnya setelah selama 3 minggu tak berbicara dengannya.

Mataku memutar ke segala arah agar susah untuk dilihat Gala sehabisku berbicara seperti itu. Tak heran, Gala langsung menatapku.

Tapi ia tak berkata apa-apa.

"Jadi kayak film horror, ya, Mad, hahahaha," ia malah bercanda dengan Ahmad. Tanpa mempedulikanku?

Memang, akunya yang bodoh.
Tapi, untuk apa aku khawatir dengannya.
Ia tak pernah hargai kekhawatiranku sedikit pun.

Untuk apa.

GalaksiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon