Last Day

1.3K 35 1
                                    

Tinggal menghitung hari bisa keluar dari sekolah ini. Tinggal menghitungnya.
Itu pun kalau kami sanggup menghitungnya.
Hari demi hari dilewati bersama-sama, namun pada akhirnya berpisah dalam satu hari. Hari ini.
Aku hanya bisa menatap wajah teman-temanku yang kian gundah gelisah, seperti halnya dengan wajahku yang terpantul dari cermin itu. Oh, cantiknya riasan seorang Ibuku untuk wisuda ini. Beliau sangat antusias dan menyenangkan.
Dan sekarang, saat yang kutunggu dari bertahun-tahun yang lalu--
"Kisen, jangan banyak melamun! Cepat naik panggung! Apakah kau tidak mendengar namamu dipanggil!?"
Ah, iya. Aku mengangguk panik, segera mengangkat kain ribet ini.

Turun dari panggung, aku menangis. Perasaanku campur aduk seperti rasa es teh plastik buatan Bang Black disekolahku. Terkadang pahit, manis, pahit lalu manis, manis lalu pahit, bahkan hambar sekali. Perasaanku.. Uh, tak perlu diragukan. Aku takut teman-temanku akan menjauh dariku, aku takut tidak diterima disekolah impian, aku takut akan ketidakbisaanku beradaptasi disekolah baru, dan yang lebih kutakutkan, aku tidak bersama sahabat-sahabatku dalam satu sekolah lagi, lalu mereka mendapat sahabat baru dan melupakanku, oh, sh*t.
Ya, aku menutupi rasa takutku dengan menatap Ratri. Ratri seseorang yang cukup menyebalkan belakangan ini, namun aku juga tak mau kehilangannya. Jika aku matahari maka ia rembulan yang bercahaya, atau sejenisnya yang selalu berdampingan. Aku betul-betul menyayanginya.

Aku mulai kehabisan kata-kata dan tergantikan oleh air mata saat teman-temanku memelukku. Kupeluk Ratri, suasana sangat sendu, tetapi Ratri tak sekali pun menangis. Entahlah, mungkin kotak menangisnya rusak.

"Kita pasti akan bertemu lagi di satu sekolah yang sama, tak usah khawatir, Kis." hibur Ratri. Aku hanya takut--nilaiku dengan dirinya terpaut cukup jauh, aku hanya tidak ingin banyak manusia-manusia diuar sana atau sang pendatang baru mengisi tempat yang jauh itu dan mendesak salah satu dari kami untuk keluar dan menyerah dari pendaftaran masuk ke sekolah favorit tujuan kita. Lagipula, sekolah favorit itu adalah sekolah favorit hampir semua anak dari semua sekolah di daerahku. Aku menghembus nafas yang terasa berat, dan sesekali terisak saat mencoba berhenti menangis.

Aku melangkahkan kaki kanan yang sudah keluar dari lingkungan sekolah, aku menatap sekolahku lebih dalam, langit sangat cerah pada waktu itu tetapi rasanya berwarna abu-abu kelam, sekelam hatiku. Aku pergi dari kehidupan disekolah ini, dan, terima kasih, untuk semuanya.

Saat itu terdengar lagu yang memperkuat tangisanku, Sebuah Kisah Klasik dari Sheila On 7.

GalaksiWhere stories live. Discover now