Kenapa sih, dia selalu menawariku hal-hal yang bisa membuatku lupa dengan Marsha? Kenapa?

"Aku ingin ke tempat Ibu. Ke panti."

Jelas, yang ku butuh hanya satu... ketenangan. Mungkin dengan melihat banyaknya anak-anak panti disana, bisa sedikit mengurangi kesedihanku karena kehilangan Marsha.

"Tapi Kara, kau baru saja pulih.. masa kita harus melakukan perjalanan jauh? Jakarta-Bogor itu bukan jarak yang dekat."

"Lalu, apa bedanya dengan kau yang menawariku bekerja kembali di galeri? Itu juga sama halnya dengan menguras tenagaku," jawabku acuh.

"Galeri itu kan milikmu.. kau bisa dengan bebas melakukan apapun disana. Aku tak menyuruhmu bekerja disana. Setidaknya kau perlu sedikit hiburan, cuci mata, berbincang-bincang dengan Sandy... atau apalah itu.."

"Di panti aku punya lebih banyak teman bicara. Ada Marsha-marsha kecil lainnya yang bisa ku jumpai disana. Tolong Javier, bisa tidak mengerti sedikit saja perasaanku? Bisa tidak kau tak memaksakan apa yang menjadi maumu? Terakhir kali kau memenangkan egomu, kita kehilangan anak kita, Jav. Ingat?"

Aku menatap tajam ke arahnya. Aku tidak pernah semarah ini padanya. Tapi emosi ini terlanjur meluap. Dia hanya menatap lurus kepadaku, dan seperti biasa... dengan ekspresi wajahnya yang datar, tak tertebak.

"Minggu depan saja, ya?"

"Aku mau sabtu ini."

Javier mendesahkan napasnya. Ia mengaduk-ngaduk menu makan siangku. Memilah-milah antara sayur dan ikan yang hendak masuk ke dalam perutku.

"Okey, sabtu ini. Aku yang akan mengantarmu nanti."

"Aku bisa pergi sendiri."

"Kara, jangan konyol. Kau baru pulih lalu kau mau pergi sendiri? Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu di jalan? Tidak. Aku tidak mau kehilangan apapun lagi saat ini," ucapnya tegas. Sejenak ia meletakkan sendok yang sudah diangkatnya. Oktaf suaranya naik setengah dari cara bicaranya yang sebelumnya.

Apa maksud ucapannya itu? Ia tidak mau kehilangan apapun lagi? Memangnya aku ini cukup berharga baginya? Dasar pemain sandiwara!

"Kalau begitu, Damian dan Airin yang akan mengantarku," jawabku tak mau kalah.

Javier memandang sendu kepadaku. "Kara, ku mohon... ijinkan aku memperbaiki kesalahanku. Berikan aku kesempatan jadi suami yang cukup baik untukmu. Ya?" Nada suaranya terdengar melemah.

Aku tidak mampu berkata apapun lagi. Yang ada dipikiranku saat ini... benarkah dia bersungguh-sungguh untuk jadi lebih baik? Atau seperti biasa... ini janji kosong yang dia ucapkan?

"Ku anggap kau setuju. Ku antar kau sabtu ini."

Ternyata meski dia berjanji menjadi lebih baik... sifat pemaksa dalam dirinya belum juga berubah. Bagaimana mungkin diamku diartikan setuju?

***

Hari yang disebut hari pembebasan itu tiba. Syukurlah, aku tak perlu berlama-lama di rumah sakit ini. Sembari menunggu kedatangan Javier yang sedang membayar biaya administrasi perawatan, aku merapikan baju-bajuku, menyisir rambut, memakai sedikit bedak agar tidak terlihat pucat.

"Selamat pagi, Ibu. Wah... sudah mau pulang, ya?" Seorang perawat tampak masuk ke dalam ruangan. Membawakan obat untuk ku konsumsi pagi ini. Dia membantuku untuk mengkonsumsi obat itu.

"Kelihatannya senang sekali ya, Bu. Apalagi suaminya yang jemput."

Aku hanya tersenyum tipis mendengar penuturannya. Salah, aku senang karena akan segera keluar dari rumah sakit ini. Bukan karena Javier yang menjemput.

Broken WingsWhere stories live. Discover now