"Wanita itu harus diberi pelajaran."

"Apa yang akan kau lakukan?" Mas Adisah balik bertanya padaku. "Melaporkannya ke polisi karena merusak nama baikmu? Menghancurkan hubungannya dengan suaminya? Kau pikir semua yang kau lakukan itu bisa membalikkan semuanya?"

Perkataan Mas Adisah membuatku tercenung. Ada benarnya juga, kalau aku melaporkannya ke polisi. Apa itu sudah tepat? Dipikir-pikir meninjau dari isinya berita, Helena seolah-olah korban gosip juga dalam berita ini dan sang wartawan seolah-olah dalang dibalik semuanya. Padahal bukan. Helena dalang dibalik semuanya, wartawan itu partnernya dan aku korbannya. Tapi sungguh licik Helena, ia mengemas seolah-olah ia juga korbannya. Sehingga ia bebas dari tuntutan apapun. Dan mengenai penghancuran hubungannya dengan suaminya.. itu sama sekali tidak ada di dalam pikiranku. Masa bodoh mereka mau jadi seperti apa.

"Tenang sedikit.. kau tidak akan bisa berpikir kalau emosimu sedang kalut." Mas Adisah mencoba menghiburku. Ada benarnya juga. Jangan mengambil keputusan disaat emosi sedang merajai. Atau hal buruk akan terjadi.

"Papa pasti akan memarahiku dan tidak lagi mempercayaiku, Mas." Mas Adisah satu-satunya partner kerja yang dipercayakan Papa untuk mengawasiku di dunia entertaint, selain Delisa tentunya. Mas Adisah pula yang berhasil meyakinkan Papa soal passion yang ku minati. Dan ia yang menyelamatkanku dari dunia bisnis dan jabatan CEO sialan itu.

"Benar juga." Mas Adisah mengangguk mengerti. "Belum lagi dengan Kara. Ia pasti shock mengetahui berita ini. Dikira kau belum tobat benar-benar."

Eh? Kara katanya? Buat apa pula ia repot-repot memikirkan Kara. Sementara aku tidak memikirkannya. Apalagi kehamilannya. Tunggu... tunggu... kehamilannya? Aha! Bukankah situasi ini selain merugikanku bisa juga sekaligus menguntungkanku? Hmm.. aku mengira-ngira kalau Kara mengetahui berita ini.. bisa saja dia stress dan keguguran kan? Hahaha... Tanpa sadar ku sunggingkan senyum licikku.

"Ada apa denganmu? Tadi marah dan sekarang... tersenyum?" Mas Adisah memandangku heran. "Kau mengingat istrimu saat aku menyebut namanya dan kau tersenyum. Apa kau merindukannya, huh?"

Aku ingin terbahak sepuasnya. Rindu apanya? Aku justru memikirkan ide briliant nan jahat di kepalaku. Untuk menjawab pertanyaan Mas Adisah aku hanya mengangkat bahuku acuh. Mengenai Kara aku tak ingin membahasnya disini.

"Kembali ke topik. Jadi apa yang akan kita lakukan?"

Pertanyaan yang ku lontarkan sebenarnya menjadi tidak perlu lagi di kondisi saat ini. Aku sudah tahu akan melakukan apa. Otak iblisku mulai bekerja.

Mas Adisah menarik napasnya perlahan. Ia menyilangkan kedua tangannya diatas meja. Aku tahu ia ingin membicarakan sesuatu yang cukup serius.

"Tidak ada pilihan lain. Kita harus menggelar konfrensi pers kalau sampai berita ini menjadi isu nasional."

Aku tertawa mendengar jawabnya. "Hah? Isu nasional apanya? Aku bahkan bukan presiden. Kenapa pula gosip mengenaiku bisa menjadi isu nasional? Sudahlah... ah, aku tidak berminat memperpanjang kasus ini. Biarkan saja. Tidak ada konfrensi pers atau penjelasan apapun." Aku kemudian memilih bangkit berdiri, ku tinggalkan Mas Adisah dengan segudang pertanyaan.

Ya, awalnya aku memang jengah benar. Tapi tidak sekarang. Dipikir-pikir kelicikan Helena ini ada untungnya juga. Aku tidak perlu repot-repot lagi memikirkan mengenai pengguguran janin dalam rahimnya. Biarkan saja gosip itu merajelala sampai menganggu kehamilannya. Hahaaa....

****

Aku melangkahkan kakiku ke rumah dengan ringan. Kalau sebelumnya aku merasa malas untuk kembali ke rumah ini, tidak sekarang. Aku benar-benar tidak sabar melihat reaksi Kara mengetahui kabar ini. Malahan aku berharap ia sudah mengetahui kabar ini, sehingga ketika melihat kedatanganku yang terjadi adalah emosinya yang membuncah dan.... DAMN! Keguguran.

Broken WingsNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ