"Mau liat upik abu sama pangerannya nggak?"

Aku mendengus keras. Sialan. Dia mengangkat topik memalukan itu lagi. Aku benar-benar benci Aira yang dengan iseng-jail-rusuhnya memotret aku dan Regen ketika kami sedang bicara tempo hari ketika pemotretan BuTa. Masalahnya bukan cuma di foto itu aku berdiri di depan Regen dan sebagainya. Masalahnya adalah baju. Kostum. Pakaian.

Cinderella and her prince? You dream Dy.

Mana fotonya pake kamera orang lagi.

"Gue baru dikirimin nih sama Tiwi, dia nanyain lo sama Regen ada hubungan apa. Gue jawab aja..."

Mataku membulat.

"Temen"

Napasku berhembus lega. Kacau kalau sampai Aira ngasih tahu perasaanku ke Regen, terus nanti Tiwi koar-koar, dan akhirnya sampai ke telinga cowok itu. Mau disimpan dimana lagi mukaku ini? Sudah cukup segala rasa sakit yang dia kasih ke aku karena cintanya ke kak Embun. Nggak perlu lagi pake acara Regen menjauh.

Dia udah maafin aku aja bahagianya bukan main.

Well, cinta membuat semua orang berlebihan.

"Baik kan gue. Tapi masa terus si Tiwi bilang dia liat Regen jalan bareng cewek. Ih, gue sih nggak percaya ya, si ketuus itu mana doyan sama cewek, orang-"

"Regen emang udah punya pacar kok"

Aira menatapku dramatis. Aku menyeruput jus jeruk. Aku tidak mau lagi galau-galau gaje cuma karena Regen-kak Embun alias dua sejoli yang saling mencintai itu. aku sudah lepas tangan dan berusaha jadi diriku seperti biasa.

Aku akan berjuang dengan caraku sendiri, tanpa melihat yang lain, dan apapun yang membuatku harus berhenti melangkah.

"Demi?" Aira megap-megap, bertanya.

"Yaudah kalo gak percaya"

Aira memegang bahuku menghadapnya heboh.

"Lo masih mau berjuang 'kan?"

Aku tersenyum getir sebelum menjawab. Mataku berpaling, jawabannya mau, tapi aakah aku sanggup?

"With my pleasure" Akhirnya.

***

Bian mendribel bola basketnya sambil berjalan ke arah salah satu bangku panjang di taman belakang sekolah yang sepi. Ke arahku sih, tepatnya. Dia tersenyum seperti biasa lalu mengangkat bola oranye itu dan memutarnya di jari.

How cool, right?

"Jomblo nih ye, sendirian aja" katanya seraya mengambil duduk di sebelahku.

"Kayak lo nggak jomblo cih," balasku. Bian tertawa renyah.

"Nungguin kak Dilla ya?"

"As usuall"

Bian menghentikan putaran bolanya dan menatapku lekat. Aku melihatnya lewat sudut mata, pura-pura bego.

"Gue kangen lo Dy"

Rasanya, aku hampir tersedak ludahku sendiri. Apa-apaaaaann?

"Gue kangen semua yang ada di masa lalu"

Kepalaku menoleh menatap Bian yang tampak lesu. Biasanya, kalau Bian sudah lemas begini ada masalah dengan sekolahnya. Di marahin guru lah, tugas bejibun lah, atau paling mentok kalah main basket.

Tapi dari nada suaranya, aku bisa merasakan Bian sedang punya masalah lebih dari itu. Aneh ya, padahal dia baru saja tersenyum tadi. Yah, di dunia ini, ada orang-orang yang ditakdirkan punya cover yang bagus untuk menutupi luka di hatinya. Salah satunya Bian ini.

Aku dan HujanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora