[16] Butterflies in My Stomach

Começar do início
                                    

"Sedikit lagi kak. Hampir aja gue bisa nyebar aib dia ke seluruh anggota mading. Tapi baru aja gue ngomong, eh dia tiba-tiba dateng. Sama kak Regen pula" curah Arva, membuat alis Selda terangkat satu.

Arva ingat dia baru mengatakan hal itu pada Ardi, temannnya dari kelas 11IPA5. Dan sialnya, Ardi adalah orang paling pelupa sedunia. Dia pasti tidak akan benar-benar mengingat ucapannya waktu itu.

Belum lagi telepon orang tuanya yang menyuruhnya pulang sebelum mereka benar-benar sampai ke laut.

"Tapi seengaknya lo bisa ngejalanin kalo lo nggak keburu pulang bego!" sambung Selda, hampir-hampir menjitak kepala adik kelasnya itu.

Ia menggigit jarinya dan berpikir tentang apa yang dikatakan Arva tadi. Tentang Regen. Dan hubungannya dengan Melody. Tentang adik mantan Melody, menggelikan. Bagaimana anak itu begitu serakah mengambil keduanya?

"Gue punya ide." Cetus Selda setelah hening cukup lama. Hening yang mencekam bagi Arva.

Cowok itu mengangkat alisnya dan mendengar rencana Selda demi menghancurkan mantan sahabatnya itu. Sesekali Arva mengangguk, berujar 'oke', atau sekedar bergumam.

"Pokoknya,hal pertama yang mesti lo lakuin adalah," Selda tersenyum sinis "Cari tau tentang hubungan mereka"

***

Pernikahan kak Tania dilaksanakan satu hari sebelum ulang tahunku, tepatnya, 18 Desember ini. Bertepatan juga setelah bagi rapot, dan itu dua minggu lagi. Hey, siapa juga yang setuju sama tanggal itu?! masih untung bukan pas banget tanggal 19 Desember. Kalau sampai, yaampun, hancur sudah sweet seventeenku nanti.

By the way, sekarang aku lagi perjalanan menuju ke sekolah. Bareng Bian-of course. Dan sejak tadi aku diam dan memilih untuk menjawab pertanyaannya dengan 'ya', 'nggak', menggeleng, mengangguk, atau kalimat yang kubuat seefektif mungkin.

Aku nggak tahu kenapa.

Tapi jujur, aku lebih nyaman ada di samping Regen daripada mister popular di sebelahku ini. Satu kenyataan yang teramat sangat aneh menurutku berhubung aku membencinya. Tapi memang aku membencinya? Aku pernah bilang ya?

"Dy, kita udah sampe. Yuk"

Aku mengerjap kaget lalu mengangguk dengan kaku. Kami berdua turun dari mobil dan secepat kereta sinkansen di jepang *ngaco, semua mata langsung menyorotku tajam. Pandangan yang juga kudapati waktu turnamen basket dulu.

"Gue anterin ke kelas ya,"

"Eh, nggak usah. Em, maksud gue, kelas lo kan di atas, jauh, jadi mendingan lo masuk aja daripada telat ya kan.." cerocosku, lebih mencari alasan supaya tidak mati karena tatapan orang-orang yang setajam silet itu.

Tapi itu alasan paling bodoh karena ini masih jam 6.40 dan jarak kelas kami bukannya dari Sabang ke Merouke.

"Oh, yaudah. Gue duluan ya, bye"

Bian mengerti. Maka dia meninggalkanku dan menuju kelasnya sendiri yang ada di lantai dua. Aku menghela napas, pada akhirnya masa lalu itu masih menghantuiku setiap aku melihat sepotong bagiannya. Dan Bian, jelas potongan dari masa lalu itu.

***

"Gue nggak ngerti lagi sama Matematika."

Aira menahan tawanya melihat muka frustasiku yang kelewat kentara. Well, hari ini si Jena (jangan sampai aku menambahkan kata zah di belakang namanya) memberi kami 50 butir latihan soal matematika yang membuatku hampir mati duduk. Iya sih, ngerjainnya perkelompok, sebaris, enam orang. Tapi tetap aja sial bagiku karena Regen, si ketua, membagi soal ini menjadi enam bagian.

Aku dan HujanOnde as histórias ganham vida. Descobre agora