Emang ribet hidup di keluarga ribet. Ribet bat aelah.

Aku baru akan membawa masuk barang-barang papa ke dalam ketika mataku menangkap seseorang yang berdiri membelakangi pagar. Aneh, baru dua bulan tapi rasanya aku sudah mengenalnya selama dua tahun. Tanpa melihatnyapun, aku langsung tahu itu siapa.

Keluargaku masih ribut menanyai papa ini itu sementara aku melangkah keluar rumah dan membuka pagar. Barang-barang papa sudah dibawa oleh pak Tio, tukang kebun yang kebetulan sedang bertugas.

Aku berdehem, membuat orang itu menoleh.

"Ada apa?" tanyaku, seringan kapas.

"Lo tau kenapa gue ke sini"

Hiih, dasar frozen. Aku memutar bola mata lambat-lambat dengan gaya dramatis. Pura-pura lupa.

"Gue nggak tau" ucapku pendek, setelah irisku sampai di sudut 360o .

Bahu Regen turun lalu ia memutar tubuhnya menghadap aku. Ini cobaan. Jangan sampai aku luluh karena matanya. Laut mengerikan Dy. Maka aku menatap apapun selain wajah tegas dan dingin itu.

"Terserah, pokoknya, lo harus ikut acara ini dan nurut sama gue. Pokoknya"

"Emang lo siapa gue sih, ngatur-ngatur hidup gue?!" suaraku terlalu keras, aku tahu, maka aku menutup mulutku dengan tangan. Regen tertegun sesaat, mungkin dia juga kaget. Tapi sejurus kemudian, dia malah mencengkram bahuku dan menatapku lurus-lurus. Aku rasa Regen tahu kalau hal yang paling aku takutkan ketika bersamanya adalah tenggelam dalam gelap bola matanya. See, dia selalu memaksaku bertatap mata begini.

Emang kampret tuh orang.

Hening sesaat. Mataku dan matanya masih beradu, masih saling melotot, masih berusaha membaca pikiran masing-masing. Walapun aku sadar aku bukan Indra di novel Touché yang bisa membaca pikiran hanya dengan bersentuhan kulit.

"Gue tau lo takut laut."

Tubuhku seketika menegang mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan Regen. Tidak ada yang tahu fakta menyakitkan itu selain keluargaku, Livia, dan... Selda. Dan sekarang, Regen mengucapkannya seakan itu hanya rahasia kecil sepeti "Gue tau lo bego MTK".

"Lo... tau..." aku ingin lari masuk ke rumah, aku ingin berbalik dan menangis. Tapi tangan Regen yang kuat masih mencengkram bahuku.

"Terus... kenapa lo... maksa?" terpatah, aku benar-benar berubah linglung sekarang. Mata Regen masih menatapku lurus-lurus. Sementara mataku sendiri sekatarang sudah terjatuh ke bawah, menunduk.

Aku bisa merasakan Regen mengusap bahuku pelan.

"Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa."

Air mataku tiba-tiba jatuh. Ini nggak lucu, menangis di depan Regen, bisa-bisa aku di judge cengeng. Tapi air mataku seperti tidak mau berkompromi lagi. Bahkan aku sekarang mulai terisak, sialan.

"Dengerin gue please, turutin aja. Ya?" Ucap Regen. Manarik tubuhku kedalam pelukannya.

Tangisku semakin menjadi-jadi didalam pelukan hangat yang diberikan Regen. Semuanya terjadi seperti yang semestinya.

Tanpa sadar, kehangatan itu menelusup ke dalam hatiku dan pelan-pelan membekas. Meninggalkan sebuah perasaan yang tidak bisa ku mengerti. Klise, bahkan sebelum aku sempat mencegahnya.

***

Regen bilang, acara sertijab itu sebenarnya bukan benar-benar dipinggir pantai. Acaranya dilaksanakan di sebuah rumah makan yang letaknya tidak jauh dari pantai. Yup, kami terpisah dari rombongan. Regen bilang, sengaja, biar mereka mengira kita ngga ikut. Dan dengan bingungnya, aku hanya mengangkat bahu.

Aku dan HujanWhere stories live. Discover now