Enambelas : Special Valentine's Day

388 51 19
                                    

Previously...

Aku mematikan rokokku dan berkata, "Silahkan."

---------------------------------------

Indiana's POV

Sudah sekitar empat hari aku di rumah sakit ini. Dokter sebenarnya tidak memperbolehkanku pulang, tapi aku tetap ingin pulang. Aku merindukan apartemen dan pekerjaanku. Aku juga tak ingin Zayn merasakan beban yang kupikul. Ia sudah begitu baik padaku, aku tak ingin merepotkannya lagi. Apalagi, semua biaya pengobatanku di rumah sakit ini Zayn yang bayar.

Zayn juga tadinya melarangku untuk pulang dan mengikuti kata dokter. Sebenarnya, aku hanya butuh istirahat yang banyak. Tubuhku waktu itu juga kekurangan banyak darah dan menyebabkan Zayn harus membeli tiga kantung darah O untukku. Dan biaya itu tidak murah, apalagi kamar yang aku tempati itu VVIP.

Luka-luka di tanganku juga sudah mulai hilang. Tapi beberapa harus di jahit karena razor menggores kulitku cukup dalam dan bekasnya tidak akan hilang. Tubuhku terlihat sepuluh kali lebih kecil dari biasanya. Aku merasa tubuhku hanya terisi oleh tulang dan kentut.

"Terimakasih atas bunganya, Zayn," ucapku saat sampai di mobil. Zayn membelikanku bunga Edelweis tadi pagi. Ia bilang, agar aku menjadi mahluk abadi karena Edelweis melambangkan keabadian. Dia gila.

"Jangan melakukan hal seperti itu lagi, Indiana," suara Zayn mengaburkan pikiranku. Aku bisa mendengar nada cemas dan takut di dalam bicaranya.

Kepalaku tetap menghadap ke arah jendela mobil untuk melihat gedung-gedung yang kami lewati. Aku mengangguk, entah jika Zayn bisa melihatku atau tidak.

"Sungguh kau membuatku lemas," lanjutnya lagi.

Dan perasaan itu muncul lagi. Kenapa aku memilih Harry daripada lelaki yang berada di sebelahku ini? Bahkan Zayn jauh lebih waras dari Harry. Dan dia akan selalu berada di dekatku setiap saat yang dia mau. Ia tak pernah membuatku sedih, apalagi membuatku nangis.

Selama ini, alasan mengapa aku menangis hanya itu-itu saja. Harry.

Aku tidak tahu kenapa hati ini sangat berat melepaskan perasaanku pada Harry. Layaknya sesosok raga yang tak bisa bergerak tanpa sebuah jiwa. Mati.

Mataku menatap garis wajah Zayn dari samping. Kecemasan dalam wajahnya masih terukir jelas.

"Zayn, besok tahun baru. Kau tidak berniat pergi?" tanyaku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk mencairkan suasana dan mengalihkan pembicaraan.

Zayn menghela napasnya berat. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Kaylee Indiana McKenna Jones. Kau buruk dalam mengalihkan topik," ujarnya dengan nada serius.

Aku memanyunkan bibirku dan melipat kedua tanganku di depan dada. "Okay, Mr. Bossy," jawabku kesal. "Dan, bagaimana kau mengetahui nama lengkapku?"

Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompetnya. "Kartu identitasmu," jawabnya sambil menunjukkan kartu identitasku.

Sial! Aku langsung merenggutnya dan menyimpannya. Aku berani bersumpah, pas fotoku sangat jelek. Melebihi wajah jelek monyet saat sedang buang air besar.

Zayn hanya tertawa dan berkata, "Tentang pertanyaanmu tadi. Aku tidak tahu ingin kemana. Kecuali, kau ingin jalan denganku?"

Kini, giliranku yang tertawa. "Apa ini kencan?" tanyaku dengan nada bodoh.

Ia mengangkat kedua bahunya. "Bisa jadi. Kau tidak keberatankan?" tanyanya dan melihat ke arahku. Kedua bola mata cokelatnya menatapku lekat-lekat dengan senyuman manisnya.

Lagi-lagi aku tertawa dan mengangguk.

Zayn berjoget dan melambaikan tangannya di udara. Ia mengeluarkan suara seperti anak kecil yang baru di belikan mainan baru. Melihatnya seperti ini, aku jadi merindukan bocah itu.

Insanity. (Harry's Fanfiction)Where stories live. Discover now