Duabelas.

373 59 10
                                    

Previously...

Aku tak berpikir yang aneh-aneh. Tapi aku memikirkan seorang Harry Edward Styles.

------------------------------------------------

Harry's POV

Free time.

Jam yang paling kutunggu-tunggu. Jadi aku bisa melihat Indiana. Omong-omong, aku mengetahui namanya dari Chan, ia anak yang baik.

Aku duduk di tempat biasa dengan Liam yang tertidur di kursi panjang ini. Aku melihat kesana-kemari mencari Indiana, namun aku tak bisa menemukannya. Kemana sih?

"Kau sedang apa?" tiba-tiba Liam bangun dan melihat ke arah pandanganku.

Aku melihat ke arahnya dan menceritakan kejadian tadi pagi. Liam tidak syok, tapi ia bangga padaku. Dia ciuman pertamaku.

"Congrats, Mate! Finally you admit it," seru Liam dan menyalakan sebatang rokok.

"Mengakui apa?"

"Kalau kau menyukainya."

"Tidak."

"Ya."

"Tidak!"

"Ya!"

"Terserah kau saja," jawabku pasrah. "Tapi aku tak melihatnya di sekitar sini. Biasanya dia berdiri di situ," aku menunjuk salah satu tempat terpencil di sini yang biasa ia tempati.

Liam terbahak. "Kau jatuh cinta, Harry! Buktinya, you know where her favourite spot," ujar Liam menggodaku. Sial.

Aku memutar kedua bola mataku. Dan mencarinya ke sepenjuru ruangan ini, namun aku tetap tak dapat menemukannya. Aku merindukannya. Aku merindukan tingkahnya, wajahnya, matanya, dan... bibirnya.

Indiana's POV

Sekarang, aku tak tahu harus melakukan apa. Mau makan apa aku jika tidak bekerja? Aku harus mencari kerja.

Aku memakai skinny jeans dan kaos oblong putih serta converse hitam. Aku membawa beberapa surat refrensi untuk melamar kerja lalu memasukkannya kedalam tas. Saat aku membuka pintu hendak pergi, aku melihat Zayn berdiri di depan pintuku—kurasa ia ingin mengetuk pintuku.

"Oh, hei, Indiana," sapanya tersenyum.

Aku melihatnya bingung dan bertanya, "Kau sedang apa di sini?"

"Jadi aku tak boleh kesini?" tanyanya memasang wajah imutnya itu. "Oke, aku pergi."

Ia membalikkan badannya dan hendak pergi, namun aku menahan tangannya. "Aku hanya bertanya, Zayn. Kau ini membawa perasaan sekali," ujarku saat ia membalikan badannya ke arahku.

Zayn tertawa dan berkata, "Ya, aku hanya bercanda." Ia melihat penampilanku yang rapi ini lalu bertanya, "Kau mau kemana?"

"Aku ingin mencari pekerjaan," jawabku singkat.

Zayn mengerutkan keningnya. "Untuk apa? Kau kan sudah bekerja di Mental Cure Institute itu."

Aku menghembuskan napasku. "Aku dipecat," jawabku lagi.

"Apa? Bagaimana bisa?" tanyanya lagi.

Aku menatap ke arahnya kesal. "Kau teralu banyak tanya, Zayn!" ujarku sedikit kesal.

Ia terkekeh. "Oke, oke. Sekarang kau mau mencari kerja di mana?" lagi-lagi bertany.

Mataku memicing kesal ke arahnya.

Zayn akhirnya membawaku ke salah satu kedai kopi miliknya. Aku baru tahu pekerjaan apa yang Zayn miliki, selain bernyanyi di China Town tentunya. Aneh, padahal aku sudah mengenalnya seminggu lebih. Ia bilang kedai tersebut memerlukan seorang waiter yang sekaligus bisa menjadi cashier. Gajinya lumayan besar, tapi tetap lebih besar bayaranku di Institut itu.

Insanity. (Harry's Fanfiction)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz