Empatbelas.

397 48 8
                                    

Previously...

Malam itu, aku memimpikan Harry bebas dan bahagia bersamaku. Tapi itu semua redup. Karena itu hanya mimpi.

------------------------------------------------

Aku terbangun saat seseorang memelukku dari belakang. Kepalaku masih sedikit pusing, aku melirik ke belakang. Harry?

"Bukan mimpi," gumamku sambil mengusap wajahku.

Harry mengeratkan pelukkannya di pinggangku. Aku baru tersadar kalau Harry hanya memakai boxer hitamnya dan aku hanya memakai baju kaos dengan celana dalamku.

"Kau memang tidak bermimpi," ia berbisik di telingaku dan menggigiti daun telingaku, membuatku geli. Harry mencium pundakku dan naik ke leherku. Suaranya... aku berada di surga rasanya.

Aku membalikkan tubuhku agar menghadap ke arahnya. Tangan kiri terletak di bawah kepalanya dan tangan kanannya memeluk pinggangku dengan setia. Hatiku bercampur aduk, antara senang atau takut. Bagaimana ia bisa kabur.

"Dr. Horan," ujarnya sebelum aku menanyakan bagaimana ia bisa sampai di sini. Aku menautkan alisku. "Dr. Horan menolongku kabur, Indiana. Aku benar-benar merindukanmu," lanjutnya.

Aku menggigit bibir bawahku. "Tapi, bagaimana jika ada yang tahu kalau kau di sini, Harry?" tanyaku lembut.

Harry menyibakkan rambutku kebelakang dan menghela napasnya. "Kau tak merindukanku ya?" bibirnya ia manyunkan. Oh, sungguh Harry kau sangat menawan.

Tanganku mengelus pipinya dan bekata, "Aku lebih dari merinduakanmu."

Tanganku langsung memeluknya. Badannya hangat, napasnya menghempas ke punggungku. Aku mencintainya. Sungguh.

Harry mengedarkan tangannya di seluruh punggungku. "Kau tahu apa yang kita lakukan semalam?"

Pipiku tiba-tiba merah padam. Tentu aku tidak lupa, sialan. Aku mengangguk malu saat ia melepaskan pelukkanku.

Lesung pipi Harry lagi-lagi tercetak jelas di sana. Aku rasanya ingin mencium pipinya. Harry sangat manis, aku tak mengerti kenapa ia harus menjadi pasien rumah sakit jiwa. Ia terlihat begitu normal.

"Kau lapar?" tanyaku pelan saat sesudah aku mengagumi wajahnya dan mengubah posisiku menjadi duduk.

Harry mengangguk. "Tapi aku harus kembali," ucapnya saat aku berdiri dan mengambil celana pendek di lemariku.

Aku memberhentikan aktivitasku sejenak. Hatiku serasa hancur berkeping saat kalimat tersebut keluar dari bibir manisnya. Tiba-tiba, tangan kekarnya melingkar lagi di pinggangku dari belakang. Kepalanya ia senderkan di bahuku.

"Aku akan kembali lagi, Indiana," bisiknya di telingaku dan mencium pipiku. "Kau baik-baik saja?" tanyanya meyakinkan. Harry menjauhkan wajahnya agar dapat melihat raut wajahku.

Aku tersenyum asam dan mengangguk. Aku melihat ke arahnya dan mengecup bibirnya.

Perjalananku ke kedai Zayn diiringi oleh hujan yang lumayan deras dan perasaanku yang semeraut. Senang, sedih, dan takut dijadikan satu. Hanya karena seorang Harry Edward Styles.


Aku melirik ke arah jam tanganku, sudah menunjukkan pukul 8.15. Sial! Telat.

Langkah kakiku semakin cepat berjalan seiring hujan semakin deras. Sesampainya di kedai milik Zayn, orang-orang sudah mulai ramai dan baju kubasah kuyup. Aku hanya melihat Zayn dan salah satu pegawainya yang belum kukenal, bahkan Brenda pun belum datang. Kurasa mereka kerepotan.

"Indiana!" seru Zayn dan melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum melihatnya dan langsung pergi ke belakang untuk ganti baju.

Setelah rapi, aku menggantikan Zayn yang sedang berdiri di cashier.

Insanity. (Harry's Fanfiction)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ