Tigabelas.

489 53 21
                                    

Previously...

"Indiana," namanya yang terlontar membuatku membeku seketika.

----------------------------------------------------

Warning!

This chapter contains sexual scene, if you are under 13, please be a wise reader. Or you can wait for another chapter if you want to skip this chapter. Luvs!


Indiana's POV

Kedai ini tutup pada pukul 10 malam. Aku sudah mengganti pakaianku lagi dan hendak pulang. Sebenarnya baru akan tutup 5 menit lagi, tapi Zayn berbaik hati padaku dan Brenda. Ada beberapa orang lagi yang bekerja di sini, tapi aku belum berkenalan, hanya bertukar senyuman.

"Zayn?" panggilku saat membuka pintu kantornya. Ia yang sedang membaca sesuatu melihat ke arahku. Ia manis saat menggunakan kacamata.

"Ya?" jawabnya.

"Aku ijin pulang dulu ya," ucapku hendak menutup pintu.

"Uh, Indiana tunggu!" panggilnya dari dalam. Aku kembali mendorong pintu itu. "Kau tak ingin uh, um, kuantar?" tanyanya sedikit gugup.

Aku tersenyum dan tertawa. "Tidak perlu, Zayn. Aku harus mampir kesuatu tempat dulu," jawabku lembut.

"O-oke," jawabnya lalu kembali pada bacaannya.

Aku menutup pintu kantornya dan berjalan untuk mengambil mantelku. Lalu mataku menatap seseorang. "Niall?"

"Oh, hey, Indiana." Jawabnya gugup. Kenapa sih orang-orang ini?

Aku mendekatinya dan bertanya, "Ada apa?"

"Ini tentang Harry," ujarnya. Mataku langsung melebar dan tak sabar mendengarnya. "Kurasa dia membutuhkanmu," lanjutnya.

"Membutuhkanku? Apa maksudnya?" tanyaku bingung.

Ia menghela napas berat dan mengajakku duduk terlebih dahulu. Niall memilih duduk di pojok kedai ini.

Niall mengambil napas dalam dalam dan mulai berbicara, "Aku menyampaikan salammu tadi pagi. Dan dia bertanya padaku, memangnya Indiana kemana? Aku tak bisa menjawab karena kau juga belum menceritakannya padaku. Lalu dia menarik kerah dan bajuku hampir membunuhku. Dia kira aku macam-macam padamu. Padahal aku hanya memberi salammu, ia selalu berpikiran negative setiap ada yang berbuat baik padanya. Tapi tidak denganmu."

Aku mengepal strip tas selempangku. "Kau harus menemuinya, Indiana," lanjutnya lagi. "Asal kau tahu, keadaannya mulai membaik-jauh lebih baik sejak kedatanganmu. Ia mulai perlahan-lahan sembuh, sampai kau sekarang pergi."

Kepalaku menggeleng dan mataku meneteskan airmata. "Ak-aku tidak bisa menemuinya," jawabku lemah.

"Kau bisa, Indiana. Tentu kau bisa!" suara Niall berusaha menyemangatiku. Tapi aku tak bisa.

Aku menutup wajahku. "Aku mencintai dia," bisikku. Aku tak percaya apa yang baru keluar dari mulutku.

"Dia juga mencintaimu, Indiana." Niall mendengarku.

Aku menepis air mataku dan melihat ke arah Niall lagi. "Aku tetap tak bisa," jawabku teguh pada pendirianku. Aku tak mungkin bisa menemuinya lagi. Aku teralu mencintainya. Aku teralu mengandalkan egoku dari pada akal sehatku, sehingga salah satu dari kami harus menjadi taruhannya.

Aku meninggalkan Niall begitu saja, aku tak ingin menyebut dan mendengar nama Harry lagi. Apalagi mengingatnya. Tak mungkin kami akan bersatu, dunia kami berbeda. Tak pernah aku berniat mencintainya, tapi aku teralu dalam mengenalnya. Hingga perasaanku tumbuh tanpa aku ketahui. Perasaan itu tumbuh bak hantu yang muncul. Tak diketahui kapan, dimana dan bagaimana.

Insanity. (Harry's Fanfiction)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin