Sebelas.

394 55 6
                                    

Previously...

Di bawah deras dan alunan air hujan.

----------------------------------------------

Paginya, Thomas menjemputku di apartemenku. Dan ia sangat tepat waktu, malahan ia yang membangunkanku. Ia datang pukul setengah empat pagi, karena kami memang harus berangkat pukul 5.

Di sepanjang perjalanan, aku mengamati indahnya kota ini. Dari jalanan aspal yang di batasi bangunan-bangunan sampai yang di batasi perternakan, perkebunan serta persawahan. Indahnya perbatasan antara kota dan desa. Sesampainya di Institut, aku berterimakasih pada Thomas yang telah mengantarkanku ke sini. Jantungku berpacu dengan cepat saat aku memasuki pintu besar Institut ini. Telapak tanganku basah karena aku mengepalnya sejak sampai di 1 kilometer sebelum sampai di sini.

"INDIANA!" aku mendengar seseorang meneriakkan namaku. Aku hampir terlonjak kaget dan menjatuhkan bawaanku—cokelat panas yang kubeli di salah satu kedai. Namun setelah mengenali suara itu dan melihat siapa yang datang, aku menjadi rileks.

"Hannah, kau hampir membuatku mati karena terkejut," ucapku sambil tertawa.

Hannah ikut tertawa dan berkata, "Aku merindukanmu! Dan kau tak membalas pesanku, Nona."

Aku mengerutkan keningku. "Aku membalas pesanmu tadi malam, mungkin kau sudah tertidur," tukasku sambil berjalan ke arah loker, tempat kami menaruh barang-barang.

Lalu John lewat melintasiku dan Hannah. Ia tersenyum padaku dan disertai dengan anggukkan, aku membalasnya dengan senyumanku dan anggukkanku.

Hannah menyenggol tanganku dan berdeham, membuatku melihat ke arahnya dengan wajah bingung. "Kau sudah berterimakasih pada Jonathan?" tanyanya sambil menaikkan satu alisnya.

"Indiana, jangan bilang kau tidak tahu bahwa yang menolongmu kemarin itu John?" pertanyaan Hannah lebih mirip dengan pernyataan.

"M-maksudku, aku tahu. Belum," jawabku gugup. John yang menolongku? Pantas ia terlihat canggung tadi. Ia pasti sudah melihatku separuh telanjang.

Hannah menghela napasnya dan tersenyum. Anak ini benar-benar aneh. "Kau tahu?" tanyanya lagi.

"Tidak," jawabku singkat.

Ia memutarkan kedua bola matanya. "Aku serius," ia menggantungkan kalimatnya. "Ia membuka seragamnya untuk menutupi tubuhmu dari petugas-petugas lain yang menangkap Harry dan Liam."

Aku terhentak ketika mendengar nama itu lagi.

"Romantis bukan?" ujar Hannah.

Aku mendengus. "Apanya yang romantis? Memang kau tak melihat wajahku yang babak belur karena psychopath itu?" tukasku kesal.

Hannah tertawa. Anak ini sepertinya memang sudah gila. "Kau harus melihat tubuh John, Indiana," godanya.

Aku memutar kedua mataku dan berjalan mendahuluinya.


Gugup. Jantungku lagi-lagi berdetak dengan cepat. Aku menarik napasku dan menghembuskannya lagi.

"Kau tak perlu mengantar makanan ke lorong 3 jika kau belum siap, Indiana." Suara itu berasa dari belakangku. Mrs. Smith.

Belakangan ini, ia jadi sering sekali datang ke Institut. Mungkin ia harus lebih berjaga-jaga agar Harry dan Liam tidak kabur lagi.

Aku membalikkan tubuhku dan tersenyum padanya. "Tak apa, Mrs. Smith," jawabku pelan.

"Maafkan aku tak bisa mengganti dimana kau bisa mengantarkan makanan, Indiana. Aku tak bisa menggantinya seenaknya, itu sudah peraturan."

Insanity. (Harry's Fanfiction)Where stories live. Discover now