Limabelas.

370 53 12
                                    

Previously...

Dan seseorang mengetuk pintu kantor Zayn.

-----------------------------------------

Aku berterimakasih pada Dylan-pegawai laki-laki Zayn-yang telah mengetuk pintu kantor Zayn. Dylan bilang ia dan Brenda kerepotan jika aku tak membantu. Bibir Zayn hampir saja bertautan padaku. Aku tak ingin ada bibir orang lain yang menempel pada bibirku selain Harry.

Memikirkannya, aku menjadi sangat merindukannya. Rasanya aku ingin terus berada di sampingnya dan menggenggam tangannya.

"Halo? Saya pesan Hot Hazelnut Latte satu, less sugar," suara pelanggan menyadarkanku dari lamunanku tentang Harry.

"Uh-oh, ya," jawabku sambil mengetik pesanannya di mesin cashier. "5 euro," ujarku memberitahu harga totalnya.

Lelaki itu memberiku uang pas dan aku memberinya bill.

Hari berjalan seperti biasanya. Kedai sudah tutup, lampu sudah di matikan, hanya pantulan cahaya lampu jalan yang sedikit menyinari kedai ini.

"Hey," sapa Brenda saat aku hendak keluar untuk pulang. Seharian ini, aku belum berbicara dengan Brenda. "Kau kemana semalam?" lanjutnya.

Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. "Aku baik-baik saja, Brenda," jawabku pelan.

Brenda tertawa lepas dan berkata, "Kau lucu saat sedang mabuk, Indiana."

Sial.

Aku hanya tertawa mengikutinya dan menjawab, "Ya, mungkin hanya terjadi sekali dalam hidupku."

Ia menautkan alisnya. "Maksudmu?" tanyanya aneh.

"Aku tak ingin mabuk lagi, Brenda," jawabku dengan penekanan.

Seketika suara tawa Brenda meledak lagi. "Kau... bercanda... kan?" tanyanya di sela-sela tawanya.

Ia kira aku bohongan? Apa ia kira aku main-main? Tidak aku serius.

Aku hanya memutar kedua bola mataku dan membuka pintu kedai. Angin dingin malam menerpa kulitku. Aku berjalan meninggalkan Brenda di dalam kedai, ia yang memegang kunci ini.

Aku merapatkan jaket kulitku. Rinduku pada Harry sungguh tak bisa dihindari. Aku sungguh ingin memeluknya, menciumnya, dan menatap mata indahnya. Sungguh ini menyiksaku. Sungguh menyiksa.

Author's POV

Detik berganti detik, hari berganti hari, bulan berganti bulan.

Sudah sekitar dua bulan Indiana tidak melihat ke datangan Harry untuk mengunjunginya. Rasa menyesal dan sedih pun berbondong-bondong mendatangi hati Indiana. Resah dan kecewa pun memenuhi benaknya. Kepalanya serasa ingin pecah karena terpenuhi berbagai macam pikiran negatif.

Ingin Indiana membunuh dirinya. Tak kuat rasanya jika ia terus-terusan memikirkannya yang tak akan kembali padanya.

Apa Indiana sebodoh itu memikirkan seorang Harry Styles? Semua orang di dunia pun tahu, sampai kapan pun, mereka tak akan bersatu. Tapi itulah cinta. Apa cinta itu buta? Tidak. Cinta tidak buta, cinta hanya sebatas cinta. Kau biarkan dia memasuki lubang kecil di hatimu dan membiarkannya mengembang.

Cinta tidak buta. Tapi cinta berkembang karena hati telah memilihnya.

Zayn's POV

It's Christmas, everyone!

Malam ini, aku berencana untuk membawakan Indiana sekotak cokelat dan sebotol wine merah. Bagaimana pun juga, aku harus menghormatinya.

I hate all those racist people.

Insanity. (Harry's Fanfiction)Where stories live. Discover now