Satu.

1K 113 30
                                    

Fyi: Jonathan is John.

Aku mulai bekerja disini sejak aku tak memiliki siapa-siapa. Ini hari ketigaku. Ini sangat membosankan. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain berdiri diantara orang gila dan memberikan mereka senampan makanan.

"Indiana, bisakah kau memberikan makanan ini pada lelaki di sebelah sana?" ujar Hannah menunjuk seorang laki-laki di pojok ruangan. Aku mengangguk dan mengambil nampannya dan berjalan ke arahnya. Setelah aku berjalan mendekatinya, aku bisa melihat rambut keritingnya yang berantakan. Kepalanya menunduk. Dia duduk diam, tidak terganggu dengan aku yang datang.

"Ini makananmu," ujarku sambil meletakkan nampan itu di mejanya.

"Aku tidak lapar," gumamnya. Aku hampir tak bisa mendengarnya.

Mataku membelalak dan berkata, "Apa yang kamu katakan?"

"I'm not freaking hungry, deaf!"

Mata hijau indahnya menatapku tajam. Aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Yah, aku memang hanya tiga hari di sini, tapi seharusnya aku tahu atau sudah melihatnya.

Aku mengambil gelas yang berisi air dari nampannya dan menyiramkannya ke wajahnya. Anehnya, dia juga tidak peduli. "Terserah, jika kau ingin mati, aku tak peduli."

Aku membalikan badanku tapi dia menarik pergelangan tanganku. Ia berdiri sekarang. Tubuhnya berdekatan denganku, aku bisa mencium bau alkohol di tubuhnya. Aku melihat kemarahan yang terpancar dari wajahnya. Ia mendekatkan kepalanya mendekat dengan telingaku. Napasnya menggelitiki bahuku. "Aku lebih baik mati daripada ada di rumah sakit bodoh ini," bisiknya di telingaku.

"Hey! Get away from her!" teriak seorang penjaga, Jonathan. Lalu aku merasa bersalah karena ia akan di bawa ke ruangan bodoh itu. Ruangan itu berwarna putih dari atas sampai bawah. Aku tidak tahu ruangan itu terbuat dari apa, tapi setiap pasien selalu takut jika perjaga membawa mereka ke ruangan itu. It was their nightmare.

Peraturan nomor 4, pasien tak boleh menyentuh pekerja tanpa alasan yang jelas dan tanpa ijin dari para pekerja.

Aku merasakan sesuatu tentangnya. Bukan amarah. Terlebih seperti... putus asa.

"John!" aku memanggil Jonathan yang sedang menarik pasien keriting itu. Ia tak memberontak
sama sekali. John melihat ke arahku dan aku berkata, "Just let him go. Bawa saja dia ke kamarnya."

"Maaf, Indiana. I can't break the terms."

"Yang dia sentuh itu aku, aku yang berhak menentukan," nada bicaraku menjadi sedikit menyuruh.

John hanya mengangguk dan membawanya ke kamarnya. Aku kembali ke pos pekerja. Saat aku masuk, Hannah menatapku. "Apa?"

"Ada apa di depan sana? Aku mendengar suara John."

Aku menggelengkan kepalaku. "Tak ada apa-apa, pasien berambut keriting itu menarikku. Kau tahukan, pasien tak bisa menyentuk pekerja."

Aku duduk di kursiku. "Siapa dia?" tanyaku.

"Lelaki keriting itu?" aku mengangguk. "Itu Harry. Harry Edward Styles."

Sebelum aku bertanya bagaimana ia bisa di sini, Hannah menjawab pertanyaanku. "Dia sudah di sini sejak kau belum lahir, Indiana."

"Serius?" aku hampir tersedak mendengarnya.

Dia terkekeh. "Umurnya 22 tahun, Indiana. Dia di sini sejak ia berumur 3 tahun setengah. Dan kau hanya berumur 17 tahun."

Mataku membesar. "Bagaimana ia bisa masuk ke sini dengan umur yang sangat muda?"

"Antisocial Disorder. Tidak dapat mencari teman, tidak memiliki perasaan. Dia bisa membunuh orang-orang."

Pantas saja, dia tak terlihat friendly sama sekali. "Bagaimana kedua orangtuanya bisa mengetahui itu?"

"Tak ada yang tahu di mana dan siapa kedua orangtuanya. Dia ditinggalkan di pintu depan rumah sakit. Dengan secarik kertas berisi surat. Aku tidak tahu apa isi suratnya. Tidak ada yang tahu selain Mrs. Smith."

Aku hanya mengangguk. Itu membuatku penasaran. Bagaimana ia bisa mendapat gangguan mental sebegitu muda? Pasti ada sesuatu yang bermasalah. Yah, aku memang baru tiga hari di sini, tapi, aku merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya. Ya, dia secara mental sakit. Tapi ia terlihat seperti ia baik-baik saja.

Aku mendorong troli makanan sepanjang lorong. Di sebelah kiri dan kananku berjejer pintu-pintu berwarna abu-abu putih. Teriakkan dari dalam sel tak lagi membuatku takut. Mungkin itu sudah biasa bagiku. Aku tak menyangka aku akan bertahan selama satu minggu di sini. Dan selama satu minggu ini, aku tidak melihat laki-laki itu lagi.

Aku selalu memberikan makanan dari sel paling ujung lorong. Dan sebelum membuka lubang untuk mengantar makanan, aku selalu melihat nama pasien yang tertulis di kertas yang kupegang.

339, Harry Edward Styles. Antisocial Disorder.

Shit. Aku menarik napasku dalam-dalam dan mengambil senampan makanan. Aku mengetuk pintu berwarna abu-abu kusam itu dan membuka lubang kecil itu.

"Mr. Styles, ini makananmu," ucapku dingin. Aku tak harus memberikannya nada bicara yang baik. Di sini, kami memiliki macam-macam cara bicara dan sikap pada penyakit yang  berbeda-beda. Tak bisa semuanya kami samakan.

Tak ada jawaban. Dia pasti tertidur.

Aku mengambil kunci-kunci dari kantungku dan mencari nomor selnya. Aku memasukan kunci kedalam lubangnya dan membuka pintunya.

Harry benar tertidur. Rambut keritingnya yang berantakan membuatnya sangat sexy. Astaga! Stop it, Indiana.

Aku meletakan nampan itu di atas lantai. Dan mataku kembali ke arahnya. Bibirnya terbuka sedikit membuatku dapat mendengar dengkuran kecilnya.

Setelah itu, mata hijau indahnya terbuka.

---------------------------------------

HAE, MAAP KALO PENDEK YAWS, KAN BONUS SAMA PROLOG NYA HEHEHE.

GIMANA MENURUT YOU YOU YOU? ABAL SI BODOAMAT DAH.

GUE MAU BILANG MAKASIH BANGET SAMA READERS YANG MAU BACA CERITA ABAL GUE INI.

DAN GUE GAK GUNAIN UMUR ASLI CAST YA, KALO HARRY IYA ASLI WKWK.

GUE MAU NEXT KALAU UDAH ADA 10 VOTES DAN COMMENTS NEXT ATAU STOP. OKOKOK

VOMMENTS GUYS, THANKYOU!




Insanity. (Harry's Fanfiction)Where stories live. Discover now