[13] Sisa-Sisa Persahabatan

Beginne am Anfang
                                    

Tapi ternyata dugaan kami salah. Yang pertama kami dengar justru suara orang yang mengaku dirinya bernama Sella. Sella, Selda, aku nggak tahu lagi ya Tuhan.

"Ada apa bos lo nyuruh nelepon-nelepon gue?"

Kesimpulannya, si Sella ini anak buahnya Selda. Otakku berusaha merangkai satu persatu apa yang terjadi. Tapi alih-alih menemukan jawaban, kepalaku malah tambah pusing tujuh keliling.

"Ngga usah banyak bacot deh. Cepet turun, Selda nunggu lo di taman depan rumah... siapa tuh temen lo yang tasnya dimasukkin bangke itu,"

"Lo ya? Ini kerjaan kalian kan?"

Aku hanya menggigit bibir bawahku sambil menatap hp Livia yang di loadspeaker di meja depan sofa. Bingung harus bereaksi apa.

Tiba-tiba orang di seberang telepon tertawa ngeri. Persis nenek lampir di gunung ceremai. Horror?!

"Lo tau jadi buat apa lagi gue kasih tau? Udah cepet turun, Selda mau ketemu kalian berdua"

"heeehhh oncom, lo pikir kita bab-"

"Bilang Selda, sepuluh menit lagi kita turun. Satu lagi, bilangin ke dia, jangan jadi pengecut dengan neror kita pake cara norak kayak gitu." Sifat sok beraniku keluar lagi. Untuk saat ini, mungkin itu akan berguna. Tapi nanti... ah, aku pasti bisa kok.

"Bilangin juga kalo mau nelepon nggak usah malu-malu. Halo? Halo? Wooyy, ah dasar kutukupret. Sialan" Livia mulai mengumpat aneh lagi. Kebiasaanya kalau sedang kesal, panik , atau frustasi.

Dia memasukkan kembali hp nya ke saku blue jeans. Lalu aku menariknya masuk ke dalam rumah.

Menyiapkan mental.

***

Malam yang terang. Bintang gemintang bersinar. Rembulan penuh benderang. Seharusnya senyum yang terukir di setiap orang yang melihatnya. Tetapi tidak bagi Regen. Cowok itu bahkan sudah lupa caranya tersenyum ketika kakinya menginjak bangunan bernama rumah ini.

Malam ini, Regen justru mengharapkan hujan turun.

Sederas apapun, ia ingin melepas semua beban yang jenuh menumpuk di dalam kepalanya. Ia ingin melarutkan semuanya bersama hujan.

Ia benar-benar tidak bisa mengerti jalan hidupnya sendiri.

Tadi sore, papanya tiba-tiba saja membawa seorang wanita dengan setelan kantor ala-ala wanita karir. Mungkin ia masih bisa terima kalau saja wanita itu hanya sekedar mampir atau bertamu ke rumahnya, mungkin ia masih maklum kalau papanya memperkenalkan wanita itu sebagai rekan kerja sekantornya.

Dia masih bisa terima.

Tapi tidak dengan kehadiran wanita itu sebagai calon 'ibu' tirinya, tidak dengan papanya yang mengaku mencintai wanita itu, tidak karena tidak ada yang bisa menggantikan mamanya. Tidak akan ada yang bisa. Sampai kapanpun.

Langkah Regen yang tanpa tujuan membawanya ke salah satu taman tak jauh dari rumahnya. Taman yang menjadi saksi bisu ke-frustasiannya selama ini. ya, kakinya membawanya pada tempat yang selama dua tahun ini menjadi tempat favoritnya.

Cowok itu baru saja melangkah memasuki area taman ketika telinganya menangkap suara yang sangat familier di telinganya. Alih-alih mendekat, Regen malah bersembunyi di balik salah satu kursi panjang yang ada di taman itu. Ini bukan malam Sabtu-Minggu. Jadi hanya ada sunyi yang mengisi atmosfer. Taman ini sepi.

"Terus, kalo lo balikin itu semua, gue sama Ody harus apa? berlutut? Minta maaf atas perbuatan yang sama sekali nggak kita lakuin?!"

"Apa? sama sekali nggak kalian lakuin? Lo pikir, dengan jadiannya Ody sama Bian atas comblangan lo, ade gue nggak sakit? Lo pikir Vanya-"

Aku dan HujanWo Geschichten leben. Entdecke jetzt