[7] It's About The Rain

Mulai dari awal
                                    

"Keluar kamu! Dasar anak jalang!"

Regen membeku. Dia bisa melihat mamanya yang terduduk sambil menangis dan memegangi pipi di lantai ruang tamu yang menghadap kamarnya. Saat itulah emosinya naik ke ubun-ubun. Ini memang urusan orang tuanya, tapi siapa juga yang tahan melihat ibunya disakiti seperti itu? meskipun oleh ayahnya sendiri?

Cowok itu mengalihkan tatapannya pada Bian. Adiknya itu sama menderita sepertinya, dia meringkuk di bawah selimut dan menutup telinganya dengan bantal.

"HEH! KAMU INI PUNYA TELINGA NGGAK?! KELUAR!"

Regen bangkit berdiri dan menatap papanya dengan pandangan berani. Dia menghampiri adiknya, menarik tangan Bian untuk mengajaknya keluar dari rumah itu. Tapi tanpa ia duga, Bian menolak. Dia menangkis tangan Regen, kemudian menangis dan memekik keras-keras.

"GUE MAU DISINI! GUE NGGAK MAU PERGI!"

Mata Regen membesar melihat adiknya yang baru masuk kelas satu SMP itu. Papanya tersenyum miring, menyeringai lebih tepatnya.

"Kalo Bian anak papa. Bian disini aja ya"

Ada jutaan paku tajam yang menusuk hati Regen mendengar perkataan papanya. Bian anak papa? Lalu aku?

Linglung, ia menyeret kakinya menuju ruang tamu. Ia berjongkok, kemudian memeluk mamanya dan ikut menangis.

***

"Kita mau kemana ma?"

Dian menatap anaknya dan mengelus rambutnya yang tebal dengan lembut. Hujan deras yang tiba-tiba menerjang membuat mereka berdua harus berteduh dulu di selasar ruko yang berjajar di pinggir jalan. Menunggu hujan reda untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

"Kita ke rumah nenek ya" jawabnya, dengan nada suara setegar mungkin. Regen balas menatap mamanya dalam-dalam. Burusaha memberi kekuatan lewat tatapan matanya. Berusaha menjadi penopang. Meskipun sebenarnya hatinya sendiri masih terguncang. Anak jalang? Regen menggelengkan kepala untuk mengenyahkan semua ppikiran buruk yang melintas di benaknya tentang kata-kata papanya beberapa jam yang lalu. Dia tidak mau dan tidak siap memikirkannya.

"Kamu tau nggak, kenapa dulu kamu dikasih nama Regen?"

Mamanya tiba-tiba berucap pelan. Ia selalu suka pada suara mamanya, mungkin suara itu juga yang membuat orang orang berkata suaranya lumayan.

Regen tersenyum. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sama yang dilontarkan mamanya sebulan yang lalu, dua bulan, setahun, atau bahkan mungkin saat dirinya masih di ayunan. Dan mamanya juga pasti akan menjawabnya dengan jawaban yang sama.

"Karena Regen artinya hujan, dan mama suka hujan" jawabnya yakin. Senyum mamanya langsung merekah.

"Yup, mama suka hujan Reg. Hujan itu kayak obat penenang buat mama. Hujan mengenalkan kita pada rasa sepi, tapi justru mengajari kita kalau kita nggak pernah benar-benar sendiri." Pandangan Dian menerawang. "Tetes hujan, nggak akan disebut tetes hujan kalau dia cuma jatuh sendirian ke bumi"

Tersenyum, Dian menatap mana hitam anak sulungnya itu lamat-lamat.

Yang Regen tahu, sejak saat itulah hujan punya arti lain dalam sudut pandangnya.

***

Mereka bertiga duduk di sofa ruang tengah dalam atmosfer yang benar- benar mencekam. Regen. Bian. Dan orang yang menghilang entah kemana dalam enam bulan terakhir, Raka. Mata mereka sama-sama memandang lurus ke depan. Dan mulut mereka sama-sama terkunci rapat. Sibuk dengan pikiran masing masing.

"Maafin papa karena sempat menghilang tanpa kabar"

Bian menghela nafas dan melirik sekillas kakaknya yang diam mematung. Kenangan masa kecil mereka berkelebat di benaknya, namun segera digantikan oleh wajah papanya yang memelas, memohon maaf.

"Kenapa pa?" tanya Bian pendek. Ia yakin hal itu juga yang ingin ditanyai Regen kepada papa mereka. Tapi pasti lidahnya kelu, jarak umur mereka yang tidak jauh membuat Bian bisa merasakan setidaknya apa yang Regen rasakan. Bukan telepati atau karena Bian mempunyai kemampuan empathy seperti di film film. Tapi hubungan darah. Yeah, you name it.

Papanya menghembuskan nafas berat lalu mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah amplop. Sebuah surat yang menjadi alasannya untuk 'menyepi'. Menjauh dari segala sesuatu yang membangkitkan rasa bersalahnya.

"Regen.."

Raka meraih tangan Regen yang bebas. Membuat anaknya itu terkesiap kaget dan kembali ke alam sadarnya.

"Maafin papa nak"

Regen bisa merasakan ketulusan dari kedua bola mata laki-laki di depannya ini. Tidak, Regen tidak mau mengakui itu. Biar bagaimanapun, laki-laki inilah yang dulu mengusirnya dari rumah dulu. Laki-laki inilah yang sudah melukai mamanya. Perempuan yang sangat amat dicintainya.

Regen segera menarik tangannya kembali dari genggaman orang itu.

"Regen, maafin papa. Papa sama sekali nggak tau akhirnya akan begini. Papa sama sekali nggak menyangka kalau selama ini papa salah-"

"Kamu seharusnya nggak minta maaf sama saya. Saya sudah menerima semuanya bahkan kalaupun kemungkinan saya benar bukan anak kandung anda." Ujar Regen dingin. Dia lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar.

"Reg, Regen papa Cuma mau minta maaf sama lo apa susahnya sih maafin?!" Teriakan Bian menghentikan langkah Regen. Cowok itu berdecak dan memejamkan matanya kuat kuat. Sebenarnya ia mau memaafkan, sangat malah. Dia mau hubungannya dengan papa seperti dulu sebelum kejadian itu lagi.

Tapi suara suara di otaknya menghentikan keinginan itu. Setiap memori tentang jeritan sakit mamanya. Setiap Kristal bening yang turun dari kedua bola mata indah mamanya. Setiap bunyi tamparan dan bentakakan papanya. Setiap jengkal siluet mamanya yang menangis tengah malam. Sampai kapanpun Regen tak akan bisa melakukannya. Sekalipun papanya harus berlutut.

"Bi, lo harus tau. Kalau nggak setiap permintaan maaf harus diterima. Papa mungkin akan merasa lebih baik kalau gue mau maafin dia. Tapi mama? Luka nggak bisa terobati Cuma pakai empat huruf itu."

Regen mengatupkan rahangnya yang mengeras. Lalu kembali berjalan pergi.

***

A/n

Buat yang belum tau, Regen itu bahasa Jermannyaa hujan. Info doang, dapet ini juga dari translete... heleh, yaudahlahya,

Good Night!

Gue harap kalian segera nongol di komen!

-A
7/3/16

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang