57 | Taman Bermain (3)

9.3K 1.5K 119
                                    

<<<>>>

Arvin membelah jalanan sempit yang makin menyeretnya masuk ke dalam hutan. Ia sudah hampir bosan dengan tanaman liar, semak-semak tinggi, serta ranting pohon yang membuat tangannya lecet. Namun kebosanannya berakhir saat kakinya harus terpaku di tanah begitu mendengar suara gemeresak dari arah jam sebelas.

Arvin menajamkan mata dan telinga, menunggu saat-saat kemunculan sesuatu itu dari balik semak. Besar asumsinya bahwa ia akan melihat hewan liar sebentar lagi. Sekolah memang sialan. Mereka tak segan membuang murid-muridnya ke tempat berbahaya seperti ini!

Jantung Arvin serasa copot begitu suara mengagetkan dari belakang telinga terdengar bersamaan dengan munculnya kepala seekor rusa. Rei bersin di saat yang sangat tepat, dan Arvin menyesal ketika rusa itu spontan lari berbalik arah. Padahal Arvin yakin ada sebuah tanda bintang di dahi hewan tersebut. Tanpa pikir panjang, ia pun segera mengejar rusa itu. Rei yang semula sibuk mengurus hidungnya yang meler, berusaha mengejar Arvin karena tentu saja tak mau ditinggal di tempat itu sendirian.

Mereka berdua melewati lahan yang lebih lebar dan lapang, walaupun pepohonan tinggi masih saja mengganggu kelurusan jalan mereka. Rusa itu cepat sekali, sementara mereka tak punya alat apa pun untuk memperlambatnya. Arvin hampir saja menyerah, sampai target operasinya di depan tiba-tiba tersandung dan roboh. Kesempatan yang bagus bagi Arvin. Tapi tanpa disangkanya, Nico muncul dari balik pohon, bersamaan dengan Ferris dan Kayle.

"Hey, tunggu!" Arvin berteriak, semakin mendekat ke arah mereka bertiga. Sementara Rei tertinggal jauh di belakang. "Kami yang menemukannya lebih dulu!" protes Arvin sambil ngos-ngosan mengatur napas.

Ferris, si jangkung mengangkat tali tambang yang ternyata dipakai untuk membuat jebakan. "Kami yang berhasil menangkapnya. Hukum alam: siapa cepat dia dapat."

Nico segera mengambil tanda bintang di dahi si rusa. Dan setelah Ferris melepas jeratan tali di kaki rusa, hewan itu pun kembali berlari dengan langkah tertatih. Tanpa berniat basa-basi, Nico segera mengajak bawahannya untuk pergi. Arvin memandang kepergian mereka dengan wajah geram. Namun ia enggan merebut bintang dari komplotan licik itu. Buang-buang waktu dan tenaga saja.

"Hey!" teriak Rei yang masih berusaha mengatur napas di samping Arvin. "Dari mana kalian dapat ransel perbekalan itu?"

"Dari hasil mencari, bodoh! Kalian sedari tadi hanya tidur?!" jawab Nico ketus dari kejauhan.

Wajah Arvin langsung merah padam. "Paling tidak aku akan menonjok wajahnya satu kali."

Arvin berjalan beberapa langkah hendak mengejar ketiga anak itu, namun buru-buru Rei cegah. "Sebentar lagi sudah jam dua belas. Kita harus fokus, ingat?"

Sementara di tempat lain, Carrie tengah berusaha meraih tanda bintang yang ditemukannya di dasar danau dengan dua tongkat ranting. Sedetik kemudian anak itu kaget begitu Belva dengan santainya mencebur ke dalam air. "Hey! Kita 'kan tidak bawa baju ganti?" tukasnya sambil mengibas-ngibaskan air yang menciprat ke tubuhnya.

"Kau lupa kalau pakaian ini dilapisi silika-nano yang membuatnya jadi hidrofobik?" ungkap Belva dengan suara berat khasnya. Carrie hanya tertawa nyengir mengetahui bahwa dirinya bodoh, saat Belva merunduk, mengambil tanda bintang di dasar danau dengan mudah.

"Okay, let's see ... what can it do for us?" gumam Belva dengan nada penasaran. Gadis itu keluar dari genangan air dan Carrie menyadari bahwa baju hijau loreng milik Belva kembali kering dengan cepat. Seolah air yang membasahinya meluncur di permukaan daun talas.

Matanya kemudian beralih mengamati tanda bintang yang dipegang Belva. Benda itu mirip mainan anak-anak yang mungkin bisa bercahaya di saat gelap. Kecuali jika ternyata itu adalah proyektor hologram mini yang menampilkan informasi penting, seperti yang telah dibuktikan oleh Belva sekarang. Dalam sekali pencet, garis-garis biru terang muncul dari bintang oranye itu, menciptakan paragraf pendek di udara.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Where stories live. Discover now