44 | Dalam Kegelapan (2)

10.5K 1.6K 99
                                    

<<<>>>

Mata Arvin mendadak rabun. Untungnya, setelah ia mengerjap beberapa kali, pandangannya kembali utuh. Dinding ruangan yang ditemuinya begitu putih dan terang. Sementara udara dingin di tempat itu mengingatkannya dengan rumah sakit. Ditambah lagi selang infus telah menancap di pergelangan tangannya. Mengapa tiba-tiba Arvin berbaring di tempat ini? Apa yang telah terjadi?

Ia meloncat dari ranjang, sibuk mencari uniget di meja dan laci walaupun matanya serasa mau copot akibat hipotensi postural. Perubahan posisi mendadak dari tempat tidur itu adalah ide buruk. Tapi apa boleh buat, dia harus menghubungi seseorang sekarang juga. Namun sungguh mengecewakan, uniget itu tidak ada di mana pun.

Suara desis pintu besi yang mendadak terbuka membuat Arvin nyaris melompat. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang wanita tengah memeriksa monitor di sudut ruangan, tanpa mengacuhkan Arvin yang berdiri dengan wajah kebingungan.

"Butuh sesuatu?" tanya wanita itu dengan suara datar. Semakin dikuasai rasa penasaran, Arvin justru balik bertanya, "Di-di mana aku?"

Wanita itu menoleh pelan. Kini terlihat jelas di mata Arvin, wajah seorang wanita yang kira-kira seumuran dengan Nyonya Pitta, namun licin tanpa keriput. Dan sanggul rambut melingkar geometris yang luar biasa besar itu bisa-bisanya menempel di kepalanya tanpa membuat patah leher. Juga pakaian body fit serbametalik yang dikenakannya terlihat kurang familiar bagi Arvin. Apakah dia semacam robot humanoid dari film fiksi begitu? Arvin tahu Galant punya boneka robot, tapi tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan wanita ini.

"Ini adalah rumah barumu," jawabnya. Arvin tidak bisa mencerna ucapan wanita itu. Rumah baru? Ia buru-buru menengok ke luar jendela kecil yang ada di pintu besi. Hanya untuk memastikan bahwa dia kini berada di ruang isolasi yang memisahkan dirinya dengan ruangan lain. Tempat ini sekarang lebih mirip penjara. Apa Arvin melakukan sesuatu sampai harus dimasukkan ke tempat aneh ini? Ingatannya benar-benar kacau sekarang.

"I'm Natasha." Wanita itu memperkenalkan diri, tersenyum, mencoba membuat Arvin berhenti menampakkan wajah cemas. "Oh, dear, kau terlihat tampan dan menggemaskan kalau sedang seperti itu." Arvin mengalihkan pandangannya jengah. Bukan saatnya tenggelam dalam pujian. Apalagi yang berbicara adalah wanita berumur yang berhasil membuat Arvin geli atas penampilannya yang extraordinary. Dan kalau dia benar-benar robot, pentingkah menyisipkan protokol flirting ke dalamnya?

"Mau kuajak jalan-jalan?" tawar Natasha tanpa bisa Arvin tolak. Rasa ingin tahunya berjaya ketika wanita itu membukakan pintu besi tebal dengan sentuhan jari di papan bercahaya di dekat daun pintu. Hawa dingin di dalam ruangan segera tercampur dengan hangatnya udara di lorong panjang yang berpenerangan buruk itu. Sambil mendorong tiang infus, Arvin mengikuti langkah Natasha ke luar.

Keduanya diam, hanya suara gema sepatu hak Natasha yang berbicara. Walaupun terasa sangat tidak nyaman, setidaknya Arvin benar akan satu hal. Tempat ini memang mirip penjara. Sekaligus tak paham bagaimana ia juga bisa dikatakan seperti rumah sakit dalam suatu waktu. Di kanan kiri lorong itu sedikitnya ada dua puluh jajaran ruang unit isolasi yang telah Arvin lewati. Hingga mereka berdua sampai di ruangan yang lebih lapang dan terang.

Pandangan Arvin masih berkeliling. Ternyata ia sedang berada di aula yang bertatanan khas gereja. Pertama penjara, kedua rumah sakit, dan sekarang rumah ibadah. Apa-apaan sekali tempat ini?

"Aku senang bisa melihatmu secepat ini, Arvin." Suara berat seorang pria memutar leher Arvin. Natasha di sampingnya buru-buru membungkuk begitu seorang pria berbaju toga hitam datang ke arah mereka. Pria gundul berwajah sangar yang membuat Arvin begidik dalam sekali lihat. Seribu pertanyaan bergerombol dalam benaknya, termasuk arti lambang segi enam aneh yang ada di dahi pria itu.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Where stories live. Discover now