Prolog

101K 7K 904
                                    

"Kalian akan mati." Suara pria dari balik telepon tua merobek keheningan jagad malam. Sebuah tangan segera meremas gagang telepon tersebut, seolah-olah sedang mencekik lawan bicaranya.

"Berhentilah menyiksaku, Averus!" sahut sang pemilik tangan. Wanita sepertiga abad itu menjawab dengan suara bergetar. "Aku sudah muak dengan permainanmu!"

Hawa yang menyiksa batin itu mulai merambat. Dari arah dapur, melingkupi setiap inci dinding beton bermotif sederhana yang terkesan kuno, hingga ke ruang tamu.

Di sana, sebuah kotak perapian menyala. Anak laki-laki mungil tengah meringkuk di hadapan bara. Menyesapi setiap radiasi panas yang tertangkap oleh kulit kuning langsatnya. Rambut ikal ungu gelap dan mata merah hatinya berlomba-lomba memantulkan liukan cahaya api. Ia masih mencoba memisahkan batas antara hangatnya harapan dan dinginnya realitas ketika sayup-sayup terdengar perbincangan dari arah dapur.

Walaupun nada itu sama sekali tak bersahabat, si anak ikal tak lantas menutup telinga ataupun bergeser menjauh. Kali ini hatinya kukuh menahan gejolak yang membuncah. Ia ingin terlarut dalam bersitegang itu, sekaligus tak berani berharap lebih pada usianya--yang masih bau kencur--untuk mampu menyelesaikan sebuah masalah keluarga.

"Dengarkan aku baik-baik, Immata!" desak pria di seberang telepon. "Sudah kubilang, ini adalah hal yang sangat gawat. Kalian akan mati jika tidak segera keluar dari situ." Suara pria itu mengingatkan si anak ikal dengan sang ayah. Apakah itu memang suara ayahnya?

Penasaran, si anak ikal langsung berdiri. Mengendap-endap menuju dapur. Dari balik dinding, ia mengintip wajah tirus ibunya dari belakang. Tertutupi rambut hitam lurus yang diurai sebahu. Sebagai sosok kecil di tengah gelapnya tata perabotan yang sebagian besar masih terbuat dari kayu.

 Sebagai sosok kecil di tengah gelapnya tata perabotan yang sebagian besar masih terbuat dari kayu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Aku memang sudah mati!" Ibunya mulai menangis. Si anak ikal masih belum terlalu mengerti, mengapa Ayah selalu membuat Ibu begitu? "Sejak lama aku telah dibunuh oleh perasaan. Dibunuh oleh ketidakjelasan suami yang bahkan tidak muncul di saat genting--seperti yang 'dia' katakan saat ini!" lanjut wanita itu. Suaranya kian melemah dan hampir punah pada sajak terakhir.

"Aku ... minta maaf, Immata." Ayah si anak ikal yang berada di antah-berantah pun menjawab. "Ini semua memang salahku--suami yang buruk." Kalimat itu hanya membuat ibunya semakin terisak. "Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan pertanyaan 'mengapa' dan 'bagaimana'. Segera tinggalkan rumah itu jika kamu masih mencintai anak kita! Waktu kita tidak banyak," sambungnya lirih dan terdengar memohon. "Kau mendengarkanku kan, Immata?"

Istrinya sengaja tak menjawab. Karena pada dasarnya kesabaran Immata sudah mencapai titik penghabisan.

"Sial, kau--" Tak lama, bunyi pukulan badan telepon di dinding menandai bahwa jaringan komunikasi itu telah diputus. Tangis Immata yang sempat terbendung pun pecah. Hatinya berat, penuh dengan pertimbangan. Sementara si anak berambut ungu langsung menghambur ke kaki ibunya yang buru-buru mengelap air mata.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Where stories live. Discover now