58 | Taman Bermain (4)

9.5K 1.5K 136
                                    

<<<>>>

Arvin mengelus perutnya yang lapar sambil tetap berjalan di dalam hutan. Ia yang paling bersemangat dalam urusan perut, mengajukan diri sebagai duta perburuan bersama Evan yang tengah dilanda suntuk karena masalahnya dengan Radhit.

Pandangan ekstra 360 derajat telah dilakukan Arvin sedari tadi. Apa pun yang bisa dibuatnya menjadi menu makan siang, pasti akan dia ambil. Namun naas, yang ditemukannya hanya jalanan bertanah dan sedikit berbatu, rerumputan tinggi, semak dan bunga liar, serta pepohonan dengan variasi ukuran yang begitu lengkap. Yang jelas, mereka semua tidak tampak lezat untuk dimakan.

Beruntung, naungan alam membuat Arvin sedikit terhibur. Musik tanpa terputus yang dilantunkan angin, mengusap lembut rambut-rambut getar di kedua telinganya. Entah itu cicit burung, entah itu gerisik daun, semuanya terdengar padu. Sementara sinar mentari yang hangat sesekali mengintip dari dedaunan di atap hutan. Pengalaman ini tentu menjadi hal langka bagi seseorang yang biasa terkurung di dalam alam buatan manusia. Sangkar beton yang membuat paru-paru terdesak hingga Arvin tak bisa bernapas sebaik saat ini. Pertunjukan yang seharusnya bisa ia nikmati lama-lama. Namun keadaan justru berkata sebaliknya. Ia dipaksa meninggalkan tempat ini secepat yang ia bisa.

Arvin mencoba bertatap sapa dengan setiap anak yang berpapasan di jalan, mungkin sedang mencari tanda bintang atau bahan makanan juga. Namun wajah mereka terlihat tegang, sehingga anak ikal itu dibiarkan nyengir sendirian. "Mereka masih takut kepadaku, ya?" tebaknya dalam gumam ragu.

"Kurasa mereka mencoba tetap fokus untuk mencari pintu keluar. Arvin, kita juga seharusnya begitu," jawab Evan setelah memerhatikan sekeliling. Beberapa anak memang terlihat sedang tidak bisa diajak bicara.

Arvin menghela napas, antara lega dan kesal. "Kalian terlalu menganggap ini serius," celetuk anak rambut ungu itu sambil masih membuntutkan pandangan pada anak terakhir yang melewatinya.

Evan sesekali memeriksa pohon, barangkali ada buah di atas dahan, ataupun jamur di pangkal-pangkal akarnya yang bisa dipetik. "Jadi menurutmu ini hanya main-main?" tanyanya pada Arvin menyambung percakapan mereka tadi.

"Ayolah ... ini hanya games yang diciptakan oleh sekolah. Dan semua anak telah berubah menjadi orang yang tidak menyenangkan," ucap Arvin, diam-diam menyindir Evan dalam benaknya.

"Heh," Evan beralih, menaruh tangan di ujung kepala Arvin dengan gemas, "kalau mau keluar sebagai pemenang, semua harus dikerjakan dengan serius. Kau juga tidak mau mengulang tahun depan, kan? Ayo, kita jangan buang-buang waktu di sini. Sekalian kita kumpulkan bintang juga." Evan melangkah lebih dulu.

Arvin mengerti, ambisi yang besar dapat ia rasakan dari sosok Evan. Berbeda sekali dengan Radhit. Mungkin kalau Evan yang jadi ketua, Arvin tidak akan bisa sesantai ini.

Belum jauh mereka melangkah, di depan, dua orang anak perempuan sedang bergelut memperebutkan tanda bintang. Arvin hendak menghampiri mereka, namun Evan menahan bahunya dari belakang, supaya Arvin tahu kalau Evan sedang menggeleng dan melarangnya untuk ikut campur. Pemuda berkacamata tipis itu membelokkan kaki ke arah lain, hanya jika Arvin yang susah diatur itu tidak ngotot dan tetap berjalan lurus ke arah dua anak perempuan itu.

"Hey, what's wrong?" ucap Arvin melerai dua gadis yang saling tambat-menambat di pohon. Arvin sesungguhnya tidak ingat pernah mengenal dua anak ini. Hanya saja ia tak ingin membiarkan mereka semakin brutal dan melukai satu sama lain hanya demi sekeping mata bintang.

"Out of your business," ketus si gadis pirang sembari merapikan poninya yang berantakan. Sementara gadis berambut hitam sebahu yang pergerakannya semula terkunci di pohon, berusaha menyembunyikan bintang yang ada di tangannya.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang