16 | Arvin (2)

16.2K 2K 191
                                    

Hwahaii, ternyata ada beberapa tambahan di part ini. jadinya agak' panjang. ah, itung-itung kompensasi buat yg kemarin ya, nanggung soalnya #alibi.

Dah yuk, selamat bertarung dengan emosi :'


====================================================================================

Arvin kecil tengah bermain sepak bola bersama teman-teman barunya di sekolah. Ternyata begitu mudah menjalin hubungan pertemanan di Sekolah Dasar-yang terletak di cukup jauh dari pusat kota Pasithea-ini.

Mereka rata-rata berasal dari keluarga menengah ke bawah; membuat Arvin hampir melupakan bagaimana rasanya bersekolah di tempat asalnya, Aidos-yang kebanyakan adalah anak bangsawan yang suka membeda-bedakan status keluarga dan membanggakan harta.

Namun apakah Arvin sudah merasa yakin bahwa sekolah ini bebas dari masalah yang lain? Ia langsung teringat dengan anak Paman Nathan yang pendiam dan dingin itu, Reittama. Sepertinya ia memiliki masalah yang cukup rumit.

Belum ada satu putaran permainan, Arvin tiba-tiba meninggalkan lapangan sepak bola begitu saja. Teman-temannya pun heran, namun tak sempat melontarkan pertanyaan satu pun karena Arvin sudah jauh. Dan mereka segera melanjutkan permainan tanpa Arvin.

Arvin kini tengah mengikuti Tama yang sedang berjalan sendirian ke halaman belakang sekolah. Bangunan sekolah ini jauh dari kesan mewah sebenarnya. Gedung-gedungnya sudah nampak tua dengan cat krem pudar. Bahkan alang-alang dan lumut yang tumbuh di lahan kosong pun dibiarkan menghijau subur. Namun bagi Arvin, sekolah ini sudah cukup dikatakan layak dan berfasilitas lengkap. Hanya mungkin karena pengurusnya saja yang tidak begitu mementingkan kebersihan dan keindahan.

Diluar hal itu, belakangan ini Arvin sangat penasaran dengan Tama. Bahkan di rumah pun mereka tak pernah berbincang banyak. Arvin hampir menganggap anak itu susah mengerti pembicaraan manusia atau bagaimana. Namun kenyataannya anak itu normal, tanpa secuil pun kecacatan.

Mata Arvin kini menangkap sosok Tama yang sedang duduk termenung di tepi sungai. Di sekelilingnya tak nampak siapapun, melainkan hamparan padang rumput luas dengan beberapa pohon akasia yang menjulang-menutupi tubuh Tama dengan bayangannya.

Arvin teringat akan ucapan Tante Pitta padanya beberapa hari yang lalu-untuk menjadikan Tama sebagai teman baiknya. Nyonya Pitta nampak sangat khawatir dengan perkembangan sosial anaknya. Arvin mengerti hal tersebut, dan kini ia bertekad untuk mengajak Tama membaur dengan yang lain.

"Hai, apa yang kamu lakukan disini?" Arvin menepuk pundak Tama yang terasa ringkih, mengagetkan si Anak berkacamata itu. Tama segera menghentikan pergerakan kaki telanjangnya yang sedari tadi mengusik aliran air sungai. Kemudian seperti biasanya, wajah polosnya segera berubah-menunjukkan bahwa ia tidak senang atas kehadiran orang lain.

Tanpa meminta persetujuan Tama, Arvin segera melepas sepatu dan duduk di sampingnya.

"Waah! Airnya jernih sekali!" pekik Arvin takjub saat matanya bisa melihat batu-batu kecil di dasar sungai dengan jelas. Ia menoleh ke arah sekelompok serangga yang mengapung dengan kaki kecil mereka di air. Dan udara sejuk sesekali menggerakkan rumput tinggi di hadapan mereka.

"Tama, ayo bermain dengan anak-anak yang lainnya?" ajak Arvin tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Ia sebenarnya masih asyik menikmati dinginnya air sungai yang mengalir lembut di kakinya.

Mengetahui bahwa tidak ada jawaban atas pertanyaannya, Arvin segera menoleh pada Tama, "Kamu tidak bisa mendengar atau tidak bisa berbicara, sih?" ucapnya dengan nada dibuat marah, agar anak ini merasa memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaannya.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Where stories live. Discover now