51 | Reposisi Materi (3)

9.4K 1.5K 50
                                    

<<<>>>

Mendung tipis merangkak perlahan di cakrawala senja. Mencetak bayang-bayang teduh di rerumputan kering yang rindu akan sentuhan langit. Sore itu, Arvin menjadi pusat perhatian seluruh siswa. Rasanya ia sudah mulai terbiasa mendapat tatapan ganjil dari orang lain. Bagi orang sanguin, hal tersebut menjadi kenikmatan yang tersembunyi di balik petaka.

"Senang sekali rasanya kembali bersama kalian," tukas Arvin riang saat berjalan kembali ke asrama bersama kelompok Saturnus. "Dan hey! Aku juga ingin punya model rambut cepak seperti ini," ucapnya sambil mengusap kepala Rei dengan kasar, membuat anak berkacamata itu buru-buru menampik tangan Arvin.

"Kenapa kau kembali?" Bagai sambaran petir, kalimat yang terlontar dari mulut Galant itu membuat semuanya berhenti bernapas dalam waktu sepersekian detik, terutama Arvin, orang yang berada di pusat sambaran. "Apa yang kau rencanakan dengan Gavan?"

Rahang Arvin kaku. Hatinya seperti ditusuk oleh besi tajam yang jelas-jelas sudah ia prediksikan akan terjadi. Suatu ketidakpercayaan yang mengakar kuat di hati Galant.

"Err ... tak bisakah kita melanjutkan nostalgia ini sebentar, teman-teman?" Radhit berusaha memecah ketegangan itu, sementara yang lain hanya bisa diam melihat dua magnet sekutub yang tiba-tiba bertolak arah.

"Apakah aku harus mengulang pernyataanku tadi?" Arvin menjawab. Radhit mulai menggigit bibir bawahnya. "Sudah kubilang, aku ingin membuktikan bahwa aku bukanlah seperti yang kalian pikirkan. Walaupun aku adalah seorang transducer, aku tetap bisa memilih takdirku sendiri. Aku bukan bagian dari mereka. Mengerti?"

Memilih takdirku sendiri. Kalimat itu meresap layaknya perasan jeruk yang masuk ke dalam luka Galant. Sakitnya masa lalu kembali berbayang. Seperti merasakan phantom pain[*]. Padahal masa lalu sudah jauh meninggalkan bagian tubuhnya. Ia pun tak mau berlama-lama. Galant hanya berdecak pelan dan segera ambil langkah meninggalkan kelompok tersebut.

[*] phantom pain: sensasi nyeri imajiner yang masih bisa dirasakan di bagian tubuh yang sudah diamputasi. Seolah-olah organ tersebut masih ada di tempat semula.

Arvin mengembuskan napas pasrah ketika anak-anak lain, seperti Belva, Carl, Lavina, Sora, Evan, bahkan Carrie perlahan ikut meninggalkan Arvin. "Is there anyone stand with me?" ucapnya lemah pada dua orang yang tersisa, Radhit dan Rei.

Radhit berharap beberapa tepukan di pundak Arvin mampu menguatkan hatinya. "C'mon, Arvin. Itu wajar. Semua butuh waktu. Kepercayaan tumbuh saat kau bisa membuktikan diri."

"Ya. Kalau kau terus murung seperti itu aku pun juga jadi takut. Jangan-jangan kau bukan Arvin yang sebenarnya," tukas Rei sambil menaikkan kacamatanya.

Senyum geli mulai merekah di wajah Arvin. "Kalian ... memang terbaik!" Sambil tertawa, ia pun menjitak kedua kepala plontos itu bersamaan. Lantas mereka bertiga melangkah beriringan menuju asrama.

<<<>>>

Dvhl berhadapan dengan Gavan. Keduanya sama-sama berdiri di aula gedung hitam yang kosong.

"Kenapa kau tidak menjalankan perintahku secara lengkap?"

Mimik Gavan tetap terlihat tenang walaupun di dalam hati ia sedang kalang kabut. "Karena aku--"

"Tak perlu berbohong. Aku sudah tahu."

Gavan seharusnya juga sudah tahu jika Dvhl lebih mengetahui dari apa yang tidak diketahui oleh orang lain. "Mengalahkan anak itu tidak bisa semudah membalik telapak tangan, Dvhl."

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora