18

1.6K 202 1
                                    

Gue duduk di atas plastik yang sengaja gue simpen di atas rumput buat alas duduk gue. Gue lagi lihat pemandangan danau di belakang rumah Kakek dan Nenek.

Pemandangannya indah banget, banyak kunang-kunang yang berterbangan di mana-mana, juga bintang-bintang dan bulan yang ada di atas langit.

Enak banget deh Kakek sama Nenek bisa tinggal di daerah pegunungan yang pemandangannya selalu indah ini, nggak kayak di kota, cuma ada gedung sama kendaraan.

Pas lagi makan malam tadi, gue bener-bener emosi dan akhirnya gue memutuskan pergi keluar dan akhirnya memandangi pemandangan disini. Setidaknya semua ini bisa menghilangkan amarah.

Sampai akhirnya, ada suara langkah kaki yang mendekat, gue nggak mengacuhkannya, mungkin Neil.

"Kate."

Ternyata dia bukan Neil, bukan orang yang gue harapkan. Dia orang yang selalu bikin gue emosi.

"Ngapain lo kesini? Pergi." Kata gue kesal.

Tapi dia masih tetep berjalan ke arah gue, "Gue bilang pergi!" teriak gue marah.

Dia gak pergi, dia malah duduk disebelah gue.

"Eh, basah." Kata dia seperti orang bodoh. Dia duduk di rumput yang sudah jelas basah.

"Bodoh."

"Kate, gue minta maaf."

"Iya gue udah denger."

"Lo maafin gak?"

"Nggak."

"Ya elah."

"Ya elah, lo pikir yang lo lakuin itu hal sepele?"

Dia terdiam, yeah, I win.

"Lo pengen ngebully gue lagi di Stanford?" Tanya gue kesal.

"Nggak, Kate,"

"Haha, kok gue gak percaya."

"Kate, beneran deh--"

"Ya, ya, ya, mending gue kuliah di Kutub Utara aja kali ya."

"Kate, dengerin dul--"

"Eh, bisa-bisa disana lo malah jadiin gue makanan penguin lagi, serem."

"Kate!"

"Apa?!" Gue langsung membalas teriakannya cepat, dan wajahnya langsung berubah bersalah.

"Revilia,"

Gue bener-bener gak mau denger omongan dia, jadi gue tetep memotong ucapan dia, "Gue capek, Luke," gue menutup wajah, "Gue hancur."

Dan saat itu juga, gue langsung menangis. Gue gak mau hal ini terjadi, nangis di depan dia itu bener-bener bukan rencana gue. Tadinya gue cuma mau ejek dia. Tapi air mata bodoh ini tetep maksa pengen keluar.

"Kate, ya tuhan, maafin aku."

Luke berusaha menyentuh gue, tapi gue langsung menepis tangannya. dan sialannya, gue gak bisa berhenti menangis.

"Sampai kapan lo mau bikin gue sakit?" Tanya gue di tengah isakan.

"Semuanya udah selesai, Kate. Aku gak akan sakitin kamu lagi."

"Omong kosong!" Teriak gue.

"Kate, serius. Aku bener-bener minta maaf, apa yang harus aku lakuin biar kamu bisa maafin aku?"

"Gak ada! Karena gue gak akan pernah maafin lo!"

"Aku mohon, Kate, jangan kayak gitu."

Tiba-tiba Luke memeluk gue. Awalnya gue kaget, tapi beberapa detik kemudian gue mukulin tubuh dia, gue terus-terusan memberontak buat keluar dari pelukannya. Tapi percuma, pelukannya terlalu erat dan gue terlalu lemah gara-gara gue nangis. Gue nangis di pelukan dia. Dia, orang yang paling gue benci.

Luke terus-terusan berbisik meminta maaf dan mengelus rambut gue. Gue gak lagi ngeberontak karena capek. Sampai akhirnya dia mencium dahi gue. Dan gue langsung merasa jijik.

"Setelah semua yang lo lakukan, lo dapet ini?!" Gue ngerasa gak adil.

Gue langsung mendorong dia sekuat tenaga agar menjauh, keluar dari pelukannya. Gue berhasil, tapi,

"Kate!" dia berteriak. Dia bakal jatuh! Tapi dia malah pegang tangan gue dan akhirnya kita berdua terjatuh ke dalam air.

Gue selalu sial gara-gara dia.

-----

Dammit, luke!:/

Vvvvooooommmmmeeeeeennnttt(s) pppllllleeeeaaassseee?



Selfish | luke hemmingsWhere stories live. Discover now