Irina tak menjawab, dia memilih meniduri Kelvin ke kamar setelah memberinya asi. Dhirgo pun menghela napas pelan melihat reaksi Irina, karena kemarin malam dengan mengejutkan Al menghampirinya yang sedang melakukan off air di salah satu televisi swasta Jakarta lalu meminta untuk memberitahu alamat serta membujuk Irina untuk membicarakan sesuatu. Dhirgo hanya diam dan tak menjawab, hingga hari ini dia belum dapat kabar tentang Al lagi.

"Baik, aku akan temui dia nanti malam." ujar Irina tiba-tiba menyadarkan lamunan Dhirgo.

Hanya senyum tipis yang Dhirgo munculkan, mungkin saat inilah dia harus benar-benar menyerah pada cintanya ke Irina. Membiarkan cintanya pergi mengejar kebahagiaan. "Aku akan menemanimu."

*

Al hanya terdiam memandang jernihnya air laut di Pulau Seribu, dia melarikan diri dari segala masalah yang menimpanya. Ia tak percaya dengan kenyataan yang ia terima kali ini, semua bagaikan mimpi buruk baginya. Kenyataan jika, Sandra yang menabrak Irina saat lampu lalu lintas berwarna merah dan saat itu Irina tengah menyebrang jalan. Meskipun Sandra tidak menabraknya dengan kencang namun hal itu mengakibatkan Irina masuk rumah sakit, melahirkan bayi di saat waktu yang tidak tepat. Namun nyatanya Tuhan memang baik, Sandra juga mengalami kecelakaan yang juga berakibat melahirkan bayi di hari yang sama.

Selain masalah itu, kini ia tidak dapat menemui Irina meskipun ia telah mendapatkan alamat yang kini di tempati Irina dari Neneknya tetap saja Al tak bisa dengan mudah menemui istrinya itu. Ada perasaan bersalah jika ia menatap mata biru milik Irina, jadi dia memilih untuk menenangkan diri sejenak. Apalagi besok adalah hasil test DNA yang akan keluar, namun pihak pengacara Irina telah menuntutnya lagi dan meminta segera melepaskan istrinya, tentu Al menolak dengan keras. Al melirik sekilas ke arah samping, di mana ponselnya berdering. Sebuah nomer tanpa nama terpampang dalam layarnya.

"Hallo?" ujarnya dengan malas. Al terdiam mendengarnya, sebuah panggilan yang ternyata berasal dari salah satu orang kepercayaanya yang ia kirim untuk mengawasi Irina tadi pagi baru saja melaporkan. Mungkin saat ini Al harus membiarkan Irina mencari kebahagiannya yang telah ia renggut, ia membiarkan Irina bersama Dhirgo terlebih bersama bayi yang Al sendiri tidak tau bagaimana wujudnya selain saat mengintip saat itu.

"Let them go," jawabnya lalu melempar ponselnya ke tengah laut dan menjambak rambutnya dengan keras. Berharap ia bisa mengeluarkan isi dalam kepalanya.

-

Pagi ini Al dengan senang karena Irina mau bertemu dengannya, meskipun ia telah membujuk agar membawa Kelvin untuk bertemu sebelum mengambil hasil test DNA. Bahkan Irina tak ingin ia menjemputnya dan meminta bertemu di sebuah cafe yang lumayan jauh dari tempat tinggal Irina. Ia memang bodoh karena memilih kembali ke apartemennya yang masih berisi Sandra dan Zac, tapi dia lebih memilih mengabaikan Sandra yang sejak tadi berusaha meminta maaf.

Al menghampiri box bayi yang berisi Zac yang tertidur nyenyak, dia mengecup kedua pipinya yang gembil membuat bayi mungil itu menggeliat. Tak perlu menunggu lama ia langsung pergi meninggalkan apartemen setelah diyakini pakaiannya telah rapi.

"Sejak dulu Bunda emang tidak pantas untuk Ayah dan sekarang Bunda harus siap kehilangan ayah. Bunda tidak punya siapa-siapa lagi selain Zac," ujar Sandra dengan lirih seraya memainkan kepalan tangan Zac.

Mobil sedan milik Al kini terparkir di sebuah cafe ternama di daerah Depok, ia segera memesan meja saat diyakini Irina belum tiba. Tempat di mana pelanggan mendapatkan privasi yang menjamin, Al memilih memainkan gadget barunya selama menunggu Irina yang belum tiba. Sebuah bunyi lonceng dari pintu menyadarkan Al, di sana istrinya baru saja datang dengan melampirkan kacamata cokelat ke atas kepala. Lalu menghampiri meja pemesanan, tak lama pun mata mereka bertemu. Al dapat melihat Irina berulang kali menghela nafas hingga akhirnya tiba di hadapannya dengan wajah semakin cantik.

Reis [Re-write]Where stories live. Discover now