Dia menutup mulutku, lalu menyunggingkan senyum penuh makna. “Gue tau, jadi setelah ijab qobul gue langsung berangkat. Kalau tidak, gue pernah denger Papa elo ngelamar Tante Luna di saat tante Luna di Jepang... jadi kita bisa lakuin hal itu juga.” Ujarnya dengan senyum seakan dari ucapannya itu tidak ada yang salah.

Memang tidak ada yang salah. Bisa aja aku melangsungkan pernikahan tanpa hadirnya mempelai wanita, asalkan sang wanita sudah tahu lalu menerima lamaran dan ada wali dari pihak wanita. Tapi apa dia tidak mikir? Acara yang mungkin berlangsung sekali dalam hidupnya –aku tidak yakin– tidak ingin ada di sana dan lebih mementingkan kariernya? Meskipun ini hanya pernikahan yang tidak berasal dari hati.

“Rin... elo sendiri yang bilang kalau pernikahan ini bukan main-main, giliran gue pengen serius, sekarang elo yang main-main.” Ujarku membalikan kata-katanya yang kemarin.

“Al... elo enggak tahu seberapa pentingnya job ini bagi gue, sdah lama jadi mimpi gue dapet job ini.” Jawabanya dengan menatapku serius.

“Gue bisa aja izinin elo dan tetap melanjutkan acara pernikahan, tapi elo mau masuk berita gosip? Ingat kita sudah jadi santapan kamera Rin.”

“Atau gini... kita buat acara di Jakarta batal dan buat acara sederhana di Vegas?” sarannya.

Aku mendesah pelan, menahan diri untuk tidak membungkam mulut Irina dengan senggenggam salju. “Kalau masalah tempat bisa aja gue panggil penghulu dan langsung nikahin elo di sini sekarang juga biar orang tua kita senang,” aku menatapnya dengan serius, dia tampak cuek. “Tapi bukan itu masalahnya.”

Dia menatapku bingung. “Lalu?”

“Masalahnya, jika kita ke Vegas meskipun nantinya elo sibuk dengan dunia karier elo, gue enggak peduli. Gue enggak bakal ngelarang hidup elo, karena kita enggak saling cinta. Tapi gue ingin pernikahan yang pertama kali gue lakukan itu sakral dan penuh ketenangan, Rin.”

💝💝💝💝

Author POV

“Sebenarnya apa sih masalah elo sama Sandra, Ir?” tanya Nathan yang kini berdiri di sampingnya sambil memegang segelas red wine.

Berbeda dengan Al yang sedang bersenang-senang dengan acara ulang tahun yang digandankan dengan acara lepas bujang, Irina lebih memilih mabuk bersama Nathan lebih tepatnya Irina sendiri karena jika keduanya mabuk mereka bisa dipastikan menginap di klub bersama.

Dua gelas anggur berwarna putih telah memabukkan Irina, celotehan yang super tidak nyambung hanya didengar dengan angin lalu oleh Nathan. Tapi tidak dengan kalimat yang baru saja ia dengar dari mulut Irina.

“Dulu waktu gue ikut kemah dengan keluarga Sandra, Mama kandung Sandra nolongin gue saat gue jatuh ke jurang. Gue selamat tapi enggak dengan Tante Rose dan sebenarnya gue jatuh karena Sandra dorong gue. Dia makin benci sama gue, bahkan sejak pertama kali ketemu seakan dia mengibarkan bendera perang ke gue.” Irina tersenyum miris ditengah kemabukkannya sambil meminta orang bar mengisi gelasnya lagi.

“Tapi elo keliatan akrab sama dia?” tanya Nathan dengan bingung.

Irina tersenyum miris, ia mengangkat gelas tinggi itu dengan gontai. “Gue coba buat berdamai dan semakin membaik. Sekarang gue takut dia beranggepan gue 'mengambil' Al dari dia, gue takut hubungan yang gue coba perbaiki hancur hanya karena pernikahan konyol ini.” Dan akhirnya Irina tumbang di meja sebelum menghabiskan minumannya.

Nathan terdiam, dia memang tak begitu dekat dengan Irina karena sahabatnya-Al- itu. Diambilnya ponsel Irina dari kantong celana, lalu ia mengetik beberapa kata untuk seseorang.

Reis [Re-write]Where stories live. Discover now