29

4.7K 469 19
                                    

Dika sedang memperhatikan langkahnya ketika sudah sampai rumah, akibat Ia berpikir sang Ibu sudah tertidur karena suasana rumah yang sepi.

"Kamu kok jalannya kayak maling begitu?" Suara Erika membuatnya terhenti.

Dapat Dika lihat, wanita itu ternyata sedang tersenyum di atas kursi panjang bersama teh hangatnya.

"Ku kira sudah tidur, Bu."

Erika menggeleng, menepuk sofa disamping kirinya untuk mengundang Dika agar ikut duduk disana. "Duduk sini, Ibu mau bicara."

Dika mengerutkan keningnya, merasa hawa disana sedikit aneh. Ia dapat melihat ibunya hanya tersenyum menunggu kedatangannya.

Namun tak ambil pusing, lelaki itu segera mendekat untuk mendudukkan bokongnya disampingnya Sang Ibu.

"Gimana hari-hari kamu disekolah?" tanyanya dengan nada lembut.

"Baik, Bu. Aku punya banyak teman disana," balas Dika juga ikut tersenyum.

Lalu Erika memegang tangan Dika, wanita tersebut menundukkan kepalanya.

"Maafkan Ibu ya..."

Dika membalas pegangan tangan Ibunya dengan genggaman yang lebih erat, sedikit bingung dengan maksud Erika.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya remaja itu kebingungan.

Erika kembali mengulas senyumnya, lalu mengangkat kepalanya untuk memandangi wajah anaknya yang sudah jauh berbeda dari dahulu kala.

"Kamu besar ... kamu tumbuh ..., tanpa kasih sayang orang tua yang benar ..." ujarnya menatap haru, tangannya terangkat untuk mengelus pundak anaknya.

Dika memasang wajah datar tanpa ekspresi, Ia tidak tau harus bertindak apa disituasi seperti ini. Dia memilih untuk diam dan mendengarkan.

"Karena Ibu yang harus mengikuti kemauan Kakek kamu ... Ibu harus meninggalkan Ayahmu di desa nyaman itu bersamamu."

"Sekarang, bagaimana keadaan Ayah? dia baik-baik saja, 'kan?" ujar Erika tersenyum miris.

Lelaki itu mengangguk, masih menunggu kelanjutan dari perkataan seorang wanita yang paling disayanginya.

"Kamu lebih suka tinggal di desa atau disini?"

"Dimana pun itu, sama."

Mendengar ucapan itu, Erika mengangguk dan menatap mata sang anak.

"Tapi sepertinya kamu kehilangan arah, Tianku..."

Dika kembali memasang raut wajah bingung, Ia masih tidak mengerti ada apa dengan Ibunya.

Lelaki itu mengerutkan keningnya lagi. "Apa maksud Ibu?" tanya Dika mencoba mengerti.

"Bisa kamu jujur?"

"Apa kamu..."

....


"Eh, tapi ya, gue tuh gak mau kayak gini!" ujar Rafa dengan cemberut.

Bian yang mendengar itu dari seberang, tertawa kecil.

"Jujur aja sih, Fa. Sama gue mah, gapapa kali santai aja. Gue terima lo apa adanya," jelasnya.

Mereka sudah berbincang panjang selama kurang lebih 30 menit melalui handphone, tiba-tiba saja Abian menarik Rafa untuk membahas perihal dirinya dan Dika.

"Tapi ... gue belum nerima, gimana dong?" Suara Rafa makin mengecil.

Lelaki remaja itu kini menjadi kepikiran, bagaimana dirinya menanggapi semua hal yang sudah terjadi. Karena semua keputusan, mau sekecil apapun, akan menentukan masa depan yang akan ditempuhnya.

"Entahlah, nanti juga nerima sendiri seiring berjalannya waktu."

"Gitu, ya?"

"Iya ... btw gue kebelet berak, anjir!" seru Bian tiba-tiba.

"Yang bener aje!"

"Lo tau nggak? kemaren gue abis makan buah naga, tai gue jadi warna pink. Buset, keren banget gak sih?" jelas Bian mengisahkan pengalamannya.

"Anjir, itu tai apa bunglon?"

"Yaudah lah, gue mau berak dulu. Matiin, atau lo ikut?" tawar Bian.

"Ogah banget, hih!" tolaknya mentah-mentah, lalu Rafa segera mematikan sambungan.

"Jorok amat dah, tuh anak," cibirnya.

"Pada dasarnya juga, itu kan temanmu," sahut seseorang diambang pintu.

Rafa yang mendengar suara itu, segera membalikkan badannya. Terdapat seorang laki-laki tinggi bersandar dipintu kamarnya.

"Lah, bukan hari libur, kok Abang disini?" tanya Rafa pada orang yang dipanggilnya dengan sebutan "Abang".

"Tiba-tiba kepikiran sama lo, besok petang gua balik lagi."

"Apalah, gak capek ntar?" ucap Rafa sok perhatian, dibalas dengan gelengan oleh cowok itu.

"Gue juga disini tau, Fa!" sahut seorang gadis yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi berada dibelakang Rasya.

"Sejak kapan lo disitu, Kak?" kata Rafa.

Dia tidak menyadari keberadaan Nia sebelumnya, mungkin karena tertutup oleh tubuh Rasya.

"Dari tadi loh, nih kehalang sama badan jumbo Abang."

Mendengar itu Rafa terkekeh kecil, sementara Efania mendapati tatapan Rasya yang biasa Ia lakukan ketika mengancam para adiknya.

"Bercanda, Bang! nih permen, jangan marah!" Nia sodorkan beberapa permen pocong kepada lelaki itu, namun segera ditolak mentah-mentah.

"Aku mau!" seru Rafa mengangkat tangan kanan.

"Kita makan berdua aja, biarin si Abang ngga usah dikasih," ujar Nia.

Rafa hanya mengangguk dan menerima permen tersebut, Ia tidak peduli apapun yang penting bisa segera memakan permen jaman dulu itu.

"Terus, Abang mau ngomong sesuatu nggak? sama Rafa?" tanya anak tengah itu, Rafa yang tadinya terfokus pada manisan itu segera menoleh menatap sang kakak pertama.

"Gak ada, Abang cuma pengen liatin interaksi kalian berdua," balasnya.

"Apalah dia apalah, udah kayak bapak jaga anak aja," gumaman Rafa dapat membuat Nia tertawa kecil.

"Bener juga, emaknya nggak ada soalnya abang jones."

Rafa sedikit terhibur dengan kata-kata Efania, mereka berbincang dengan perlahan agar tidak menyulut amarah sang kakak.

"Gue denger," ujar Rasya.

Keduanya terpaku, lalu menoleh bersama dengan cengengesan. Rasya diam melihat reaksi itu, kakinya melangkah pergi dengan tiba-tiba.

"Abang lo kenapa, sih?" datar Nia, Rafa menggeleng. "Abang lo juga," ucapnya mengingatkan.

Sementara di lain tempat, Rasya sedang menatap cermin setelah membasuh wajahnya di wastafel.

"Lucu," gumamnya.

Tanpa orang-orang sadari, sebenarnya sedari dulu lelaki itu adalah...

Seorang adikcon!

Mas Dika! [ON-GOING]Where stories live. Discover now