27. Kehilangan

67 7 0
                                    

Setahun selepas Naren meminang Alara untuk menjadi istrinya. Bukannya Alara tidak menanyakan kapan jelasnya Naren akan menikahi Alara, namun Naren beralasan ingin menstabilkan perekonomiannya terlebih dahulu.

Segudang pekerjaan kantor yang harus diselesaikan Alara membuat dirinya mengharuskan untuk lembur, ditambah sebentar lagi ia akan menjadi pemimpin perusahaan menggantikan sang Ayah.

Ddrtttt! Ddrrtt!
Bibi, nama itulah yang tertera dilayar handphone Alara.  Ia lantas menghentikan pekerjaannya sejenak lalu meraih ponsel yang berada dihadapannya.

"Hal-"

"Halo non Alara!" ucap dari seberang telfon penuh kepanikan.

"Kenapa bi?" tanya Alara yang merasa bingung.

"Ibu dibawa ke rumah sakit non, tad- tadi pinsan" jawab sang bibi.

Alara bergegas mengemasi barang bawaannya dan menuju ke rumah sakit dimana sang ibu di rawat.
Rumah Sakit Mulia, itulah alamat yang diberikan sang bibi kepadanya.

Secepat mungkin ia menerobos jalanan agar bisa secepatnya melihat kondisi sang mama. Seakan alam membantu Alara, jalanan kali ini terbilang sepi dari biasanya.

"Mba, pasien atas nama ibu Ivana Arunika dirawat di kamar mana ya?" tanya Alara kepada salah satu petugas rumah sakit yang berjaga.

"Ruang lantai 4 Kamboja II ya mba" jawab wanita tersebut.

"Terima kasih mba".

Alara berjalan cepat menuju lift dan langsung masuk saat lift terbuka dan menuju ruangan dimana sang mama dirawat.

"Ma... mama gapapa?" sapa Alara begitu masuk keruang rawat inap disana.

Didalam ruangan tersebut ternyata sudah ada sang papa dan Naren, kekasihnya.

"Mama gapapa sayang, kamu tenang ya" jawab sang mama tersenyum dengan suara yang cukup pelan menandakan kondisinya cukup lemah.

Kini tatapan Alara beralih memandang sang kekasih yang duduk diatas sofa, ia heran mengapa bisa Naren berada lebih dulu dibanding dirinya.

"Naren tadi kebetulan datang ke rumah, niatnya mau ketemu kamu malah keadaannya kaya gini" jelas papa Alara.

"Kenapa ga telfon aku dulu Ren?" tanya Alara.

"Mau surprise in, ternyata kamu lembur" jawab Naren.

Alara mengangguk sambil tersenyum mendengar jawaban sang kekasih.

"Naren.." panggil Ivana, mama Alara.

"Ia tante?" kemudian berjalan menghampiri calon ibu mertuanya.

Ivana tersenyum kearah calon menantunya. "Jangan ditunda lebih lama lagi Ren, takutnya tante ga bisa liat anak tunggal tante menikah" ungkapnya.

"Ma, jangan gitu ngomongnya dong. Mama pasti sehat" potong Alara.

"Iya tante, setelah tante sembuh Naren sama Alara langsung urus pernikahan kami"

"Yang penting tante harus sehat supaya bisa liat anak tunggal tante menikah dan liat cucu-cucu tante" lanjut Naren.

Mereka melanjutkan perbincangan dengan santai sampai Ivana tertidur pulas.
Pukul 01.15 WIB Naren berniat untuk pulang karna besok pagi ia harus menghadiri meeting yang tidak dapat diwakilkan atau ditunda.

"Om, Naren pamit dulu ya. Besok Naren sempatkan untuk kesini lagi" pamitnya.

"Aku anter sampe bawah ya Ren?" tawar Alara yang dibalas anggukan oleh Naren.

Mereka berjalan beriringan, keduanya sama-sama lelah akan aktivitas hari ini.

"Ren? gimana soal tadi yang mama omongin?" tanya Alara begitu masuk kedalam lift.

"Nanti aku pikirin lagi ya Ra?" jawab Naren sebisanya.

"Minggu depan aku harus ke Bandung, kita omongin masalah ini setelah aku pulang dari Bandung" lanjut Naren.

Naren melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, berharap segera sampai ke rumahnya untuk beristirahat.

*
Pukul 06.50 WIB Alara memutuskan untuk keluar mencari sarapan untuknya dan sang papa. Dilihat kedua orang tuanya masih tertidur pulas membuat Alara harus keluar ruangan dengan hati-hati agar tidak membangunkan siapapun.

Dua porsi nasi goreng Alara pesan di kantin Rumah Sakit. Sebenarnya Alara sedang kehilangan nafsu makannya, tetapi ia tidak boleh sakit demi sang mama.

Ddrrttt! Ddrrttt!

"Halo pa?" ucap Alara setelah meraih ponsel dari dalam tasnya.

"Ra? Mama Ra.." terdengar suara dari seberang sana.

Alara berlari menuju ruangan dimana mamanya dirawat dengan air mata yang terus mengalir dengan cepat. Tak jarang ia nyaris menabrak orang lain yang sekiranya menghalangi langkahnya.

Kain putih menutupi wajah wanita berusia mendekati kepala lima yang dikelilingi oleh dokter, suster, dan tentu saja sang suami.

"MAMA!".

Tangis Alara semakin pecah kala melihatnya secara langsung. Ia membuka kain putih penutup wajah sang mama, terlihat wajah yang tak asing sedang tersenyum namun tak bernyawa.

"Ma? bangun ma.."

"Pa, kenapa mama pergi pa? mama bahkan belum liat Alara nikah, mama ga pamit sama Alara pa.."

Alara terus menangis sambil terus menggenggam tangan sang mama, berharap ada sebuah keajaiban atau berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk.
Kehilangan orangtua terutama ibu adalah luka paling mendalam, seperti rumah tanpa lampu.

Bersambung....

Jangan lupa vote, komen, dan share yaa🙏🏻

Sampi jumpa dibab selanjutnya🥰

Berhenti Disini (Naren-Alara)Where stories live. Discover now