28: Hari Sial Dewa dan Adam

4.4K 499 23
                                    

🦋🦋🦋🦋

Kini sudah lebih dari tiga hari Dewa meninggalkan desa. Namun selama beberapa hari itu Dewa sama sekali tidak menghubungi Asmara, dan ponselnya pun sudah tidak aktif. Hal itu semakin membuat Asmara khawatir dan takut jika berita yang ia lihat beberapa waktu lalu itu benar.

Berita itu telah menyebar di sebagian orang-orang desa, mereka yang mendengar berita itu tampak curiga dan tak segan mengucapkan kata-kata sindiran ketika bertemu dengan Asmara dan beberapa keluarganya.

"Waduh, kasihan sekali. Makannya jangan terlalu percaya sama orang-orang berpangkat tinggi, jadi gini kan."

"Hilang rasa kagum saya sama pak Dewa."

"Makannya jangan terlalu polos jadi perempuan, dirayu sedikit langsung jatuh hati, gampangan sekali."

"Sabar deh Asmara, lain kali jangan mudah kemakan rayuan laki-laki ya, apalagi laki-laki yang modelannya seperti pak Dewa."

Bani tentu saja tak terima ketika beberapa orang memojokan putrinya. Asmara sendiri merasa pasrah dan dia masih tetap berharap jika semua itu tidak benar.

"Lihat, sedari awal bapak tidak percaya sama dia." Bani berucap tegas dengan tatapan tajam mengarah pada Asmara yang duduk bersebelahan dengan Rania.

"Orang-orang seperti Dewa sudah sering bapak temui dulu, laki-laki yang bermodal omongan sama janji-janji manis. Bisa saja kamu bukan satu-satunya yang menjadi korban omongan manis Dewa, mungkin Dewa pernah melakukan hal yang sama dengan perempuan-perempuan polos seperti kamu di luar sana."

Pikiran Asmara semakin kacau setelah mendengar omongan Bani, bisikan-bisikan jahat terus berdatangan mendengung dikedua telinganya. Hatinya tiba-tiba terasa sangat sakit bagai dihantam oleh batu besar, Asmara tidak terima jika Dewa memang benar melakukan itu.

"Bapak jangan langsung berasumsi negatif, lagi pula itu masih inisial. Bukan hanya Dewa yang memilik nama dengan inisial D." Awan membalas.

"Pantas saja para orang tua di desa ini hampir tidak pernah bekerja atau melanjutkan pendidikan ke kota. Semuanya sama saja, hampir semua orang tua di desa ini mempunyai pemikiran pendek dan selalu menganggap benar berita yang belum tentu kebenarannya." Lanjut Awan berani mengungkapkan argumentasinya.

"Jika memang berita itu salah kenapa Dewa belum juga pulang, jangan pulang deh. Minimal dia hubungi Asmara, apa ada? Tidak kan?" Bani membalas tak mau kalah.

Awan tampak membuang nafasnya setelah mendengar balasan sang ayah. "Pak, profesi Dewa bukan cuma Menteri, dia juga pemimpin perusahaan. Setelah menikah dengan Asmara Dewa menuruti ucapan bapak agar tinggal di desa dan meninggalkan perusahaannya. Itu nggak mudah pak, mungkin Dewa sedang mengurus perusahaannya jadi dia sibuk dan nggak sempat hubungi Asmara."

"Sesibuk-sibuknya Dewa pasti ada lah pikiran buat hubungi istrinya, tidak mungkin sampai lupa. Di film-film pun seperti itu." Bukan Bani yang membalas, melainkan adik perempuan Bani yang memang sedang mampir.

Tia namanya, wanita itu selalu menghampiri Bani jika kakak laki-lakinya itu sedang memiliki masalah keluarga. Wanita itu datang bukan untuk membantu menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah.

Awan mengusap gusar wajahnya, pria itu menghembuskan nafasnya kasar. Lalu pandangan matanya jatuh pada Tia yang sedang duduk di samping Indri.

"Astaghfirullahaladzim... Ya Allah... Tante Tia, itu kan film, sekarang kita sedang ada di dunia nyata tante. Yang di mana skenarionya bukan ditulis pakai penulis film melainkan ditulis langsung pakai yang maha kuasa." Rasanya Awan ingin memberikan semburan air panas pada wanita yang kini sedang sibuk memainkan perhiasan di tangannya.

Dewa Asmara | TamatWhere stories live. Discover now