Bab: 24

65 13 3
                                    

Kataku dia hanya penasaran. Lihat saja, sekali kau luluh, dia akan pergi dan merasa menang.

***

Naskahnya belum selesai. Masih ada beberapa alur yang perlu ditambah dan dibaca ulang, memastikan apakah ada typo dan sebagainya. Dari bab pertama sampai dua puluh sembilan, Kiana sudah membaca dan merevisinya. Jadi saat ini ia hanya fokus pada bab terakhir.

Sudah pukul tiga sore. Daritadi Kiana menimbang-nimbang apakah ia menginap di sini atau tidak. Namun jika dipikir-pikir lagi, sebaiknya ia pulang saja.

Kiana yakin ia tak akan benar-benar tidur jika bermalam di sini.

Selanjutnya, ia memesan gojek. Jujur saja Kiana ragu jika di sini ada ojek online.

Lantas bagaimana jika tak ada?

Kiana mulai panik.

Ia menoleh ke kanan-kiri. Satu-satunya orang yang ia kenal di sini hanya Rama. Namun lelaki itu malah menghilang. Perasaan tadi dia masih sibuk mengumpulkan iuran toilet.

Tak mungkin ia meminta Aksa untuk menjemputnya kesini.

Apa dia minta Rosa saja untuk memesankan gojek ke sini?

Yang benar saja. Berapa duit yang akan keluar nantinya.

Kiana yang tadinya sudah berjalan selama lima menit mencari ojek yang mangkal, beralih kembali ke lokasi danau. Mendadak ia takut.

Kiana berjalan di pinggir danau, menelusuri tempat yang dulu pernah ia datangi.

Tepat di depan sana, seseorang sedang memegang sebuah kamera yang kebetulan menghadap ke arahnya. Kiana tersenyum lega. Akhirnya ia menemukan orang itu.

"Gue mau ngomong." Ujarnya pada orang itu.

Rama menyudahi kegiatan memotretnya lantas beralih menoleh ke belakang.

"Ngomong sama gue?" Tanyanya pura-pura tak tahu.

Kiana berdecak. "Gue minta tolong anterin pulang."

"Mau nebeng?"

"Iya."

"Ntar ya. Gue balik bentar lagi. Paling cepet jam lima." Ujarnya sembari melirik pergelangan tangannya yang kosong. Padahal tak ada jam tangan di sana.

Kiana melongo tak percaya. Jam pada ponselnya menunjukkan pukul tiga sore. Itu artinya dia harus menunggu dua jam lagi.

"Bantuin gue kali ini aja. Gue harus balik secepatnya. Ada deadline yang lagi gue kejar." Pinta Kiana.

"Ya trus?" Tanya lelaki itu. Ia beralih membidik kameranya ke arah lain. "Bukan deadline gue kan?"

Kiana mengepalkan kedua tangannya. Tanpa mengatakan apapun, ia beranjak pergi dari sana. Jika bukan karena perlu, ia tak akan sudi bicara dengan lelaki itu.

Heran, lelaki ini berubah mendadak menyebalkan setelah pertemuan mereka di rumah tempo hari.

Tak ada pilihan lain. Ia harus mengerjakan naskahnya di tempat ini sambil menunggu lelaki itu selesai dengan kegiatan main-mainnya.

***

Kiana tersentak dari tidurnya. Ia baru sadar jika saat ini sedang tertidur sembari bersandar di bawah pohon. Astaga!

Tak jauh dari tempatnya, seseorang sedang berdiri sembari membidik kamera. Siapa lagi jika bukan Rama.

"Udah berapa banyak foto gue di kamera lo?" Kiana terang-terangan mengatakan hal ini.

Kita Pernah Berhenti (On Going)Where stories live. Discover now