Bab: 18

65 16 0
                                    

Dia pernah ingkar. Tak lama, ia datang untuk menebus janji. Aku bingung. Ini effort, atau bagian dari permainannya?

***

Paginya, Kiana merasa sangat mengantuk. Tidurnya jelas belum puas. Namun melihat teman-temannya sudah bersiap-siap keluar tenda, Kiana mau tak mau terpaksa ikut.

Halah, mereka jelas-jelas tak ingin dicap pemalas oleh laki-lakinya.

Padahal mereka sudah bersiap membawa peralatan mandi, tapi malah beralih pergi ke pinggir danau untuk mengambil foto sunrise.

Ah, Kiana sedang malas mengabadikan sesuatu lewat lensa ponsel. Ia memilih ngantri ke toilet. Hanya beberapa orang. Namun Kiana tak betah jika belum mencuci muka dan sikat gigi.

Kalau mandi, mungkin akan terkesan egois sebab orang-orang di sini juga ngantri untuk sekedar mencuci muka. Oleh sebab itu Kiana memilih untuk cuci muka dan ganti baju saja.

Iseng melirik ke arah danau. Ternyata teman-temannya masih sibuk berswafoto di sana. Sementara anak laki-laki, tak kelihatan wujudnya dari tadi. Mungkin sedang sibuk memesan sarapan.

Begitu menoleh ke depan, tak sengaja ia bersitatap dengan laki-laki berjarak dua langkah di hadapannya. Ia juga sedang mengantri di depan sana.

Keduanya hanya sekedar bersitatap, dan Rama juga kembali menghadap ke depan.

Begitu seseorang keluar dari toilet, dan antrian jadi maju selangkah, Rama kembali menoleh ke belakang.

"Change?" Tawarnya tiba-tiba.

"Hah?" Kiana merasa kurang jelas dengan pertanyaan lelaki itu. Ia takut salah dengar.

"Tuker posisi." Jelas lelaki itu. Saat itu juga, ia langsung bergerak ke belakang dan menyuruh Kiana berdiri di barisannya yang tadi.

Kiana mematung. Baik sekali lelaki itu.

"Thanks, ya!" Ujar Kiana.

Kebetulan pintu toilet juga terbuka. Saatnya giliran Kiana yang masuk. Sebelum masuk, ia membayar uang masuk lebih dulu. 

"Sekalian sama Abang yang baju hitem di belakang ya dek." Bisik Kiana pada anak kecil yang memengang iuran toilet sembari menunjuk Rama. Anak kecil itu lantas mengangguk.

***

Selang beberapa saat, Kiana akhirnya keluar dari toilet. Tak lupa melayangkan senyum saat melewati Rama. Lelaki itu sudah dua kali menolongnya.

Begitu melirik ke arah danau, teman-temannya sudah tak ada lagi di sana.

Saat melirik ke arah antrian, mereka juga tidak ada di sini.

Kiana mempercepat langkahnya. Jangan sampai mereka malah sarapan tanpanya.

Ternyata benar. Mereka kini sedang berkumpul di depan tenda.

Hening.

Tapi ada satu orang yang sukses membuat Kiana melongo tak percaya.

Orang itu akhirnya datang.

Aksa Radhika kini menyusulnya.

"Ki, ada yang mau lo jelasin duluan ke kita?" Balqis memulai obrolan lebih dulu.

Aura ketegangan bercampur muka bantal itu membuat Kiana tak bisa menjawab apa-apa.

"Maaf, kalau kehadiran saya mengganggu di sini. Saya mau ngobrol dengan Kiana." Aksa akhirnya bicara. Sementara Kiana sibuk memilin ujung handuk. Ia merasa ketar-ketir saat ini.

"Akhirnya sadar diri. Sekarang anda bisa pergi!" Ucap Balqis tanpa basa-basi.

Tanpa peduli dengan ucapan Balqis, Aksa malah fokus menatap Kiana. "Boleh ikut saya sebentar?"

Kita Pernah Berhenti (On Going)Where stories live. Discover now