Bab: 13

81 17 0
                                    

Mendadak ingin keluar dari circle pertemanan, saat mengetahui semua teman tiba-tiba punya pasangan.

***

Pagi Kiana diawali dengan melanjutkan kegiatan mengetik naskah. Bercerita dengan Aksa semalam membuat idenya mengalir lancar pagi ini. Tak bisa ditunda-tunda, takutnya keburu hilang.

Si gadis pecinta kucing yang Kiana namai sebagai Bunga di naskah itu hidupnya terlalu lurus. Harus diberi sedikit guncangan agar terkesan menarik dan tidak bosan.

Kesempurnaan hidup Bunga di naskah itu harus Kiana pending di bab ke dua puluh. Kiana berniat untuk mendatangkan orang ketiga di antara hubungannya dengan Ale, tokoh utama laki-laki di cerita itu.

Sosok ketiga ini rencananya akan mencoba mendekati Bunga dan membuat gadis itu menjauh dari pacarnya.

Kiana tersenyum menatap layar komputernya. Outline sudah tersusun rapi, saatnya mengembangkan ide!

Baru saja Kiana mengetikkan judul bab, ketukan pintu kamar kosnya mengalihkan konsentrasinya.

Mendengar tak ada reaksipun dari Kiana, orang itu mengetuk lagi.

Setengah dongkol, Kiana terpaksa bangkit dan membukakan pintu. Paling orang itu adalah Rosa, pikirnya.

"Hai, Ki!" Sapa seseorang yang ternyata bukanlah Rosa.

"Balqis? Lo sama siapa ke sini?"

Gadis itu malah beralih memeluknya. "Gak kangen sama gue?"

Gadis itu mengajaknya masuk, dan menutup pintu. Hei! Siapa tuan rumah yang sebenarnya?!

"Kok gak ngabarin dulu? Minimal chat, biar gue bisa siap-siap. Mana gue belum mandi lagi." Omel Kiana. Jam menunjukkan pukul delapan pagi. Aneh rasanya jika sudah berkunjung ke rumah orang di pukul segini.

"Gue udah duga lo bakalan ngomel. Gue ke sini dianterin suami, sekalian berangkat kerja."

"Iya, Balqis. Gue tau lo udah nikah. Tapi tetep aja, kalau mau ke rumah gue, mestinya ngabarin dulu."

Balqis mengangguk layaknya anak kecil. "Udah selesai ngomelnya?"

Kiana tak menjawab.

"Gini, maksud gue dateng ke sini, mau ngajakin lo tinggal di rumah gue sehari-dua hari. Mulai hari ini suami gue dapet tugas di luar kota, jadi gue tinggal sendirian di rumah. Lo temenin gue ya?" Pinta gadis itu to the point.

Tak lama, Balqis kembali melanjutkan ucapannya. "Atau gue yang nginep di sini. Tapi menurut gue enakan nginep di rumah gue, masalah bahan makanan udah ready. Lebih legaan lah pokoknya. Emang lo gak suntuk ngeliat dinding kamar lo mulu tiap hari?"

"Lo nawarin di waktu yang gak tepat. Masalahnya gue lagi ada kerjaan, dan deadlinenya juga sebentar lagi. Gue takut gak kekejar."

"Kerja apaan sih? Bukannya lo masih nganggur ya?"

"Nulis." Balas Kiana.

"Ya ampun, Ki. Emangnya lo nulis dua puluh empat jam? Lagian gue cuma pengen ada temen di rumah. Kalau lo mau seharian ngurung diri di kamar juga gue gak masalah. Yang penting ada orang selain gue di rumah itu."

"Jadi ini kesannya maksa ya? Yaudah kalau lo maksa." Balas Kiana. Ia beralih menuju lemari dan mulai menyusun pakaiannya.

***

Kiana tidak berbohong. Dia memang menghabiskan waktunya seharian di kamar. Untungnya rumah Balqis tersisa kamar kosong untuknya.

Ketukan pintu kamar mengalihkan perhatiannya.

"Ki, gue masuk ya."

Tak lama, Balqis masuk sambil mengembuskan napas pasrah.

"Udah kenapa, Ki? Daritadi lo ngetik mulu. Gue yang capek ngeliatnya." Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di ranjang, membuat posisi Kiana sedikit berguncang. Kebetulan ia melanjutkan kegiatan menulisnya di sana.

Kiana menutup layar laptopnya. Beginilah resiko menjadi penulis. Jika mood sedang baik, niat dan ide juga mendukung, maka dunianya akan stuck di dalam naskah, tanpa kenal waktu.

Kiana menghirup udara sebanyak-banyaknya sembari merenggangkan otot-otot lengan dan pinggangnya.

Balqis geleng-geleng kepala melihat hal itu. "Healing, Ki. Selagi masih muda. Ntar kalau udah nikah, baru nyesal."

"Gue gak bakal nikah." Jawab Kiana santai.

Balqis memukul kaki Kiana cukup kuat. Kiana sontak berteriak.

"Jaga ucapan lo. Diaminin malaikat ntar loh!"

Kiana mengelus kakinya yang terasa pedih sembari menatap Balqis tajam.

"Eh, tapi gue serius tau, yang masalah healing. Gue juga pengen healing bareng kalian. Staycation gitu."

"Mana bisa. Lo kan udah nikah." Tolak Kiana mentah.

"Apasih. Selagi gue belum isi, gue masih bebas tau."

"Paling juga wacana."

"Percaya sama gue. Kali ini gak bakal wacana. Apalagi yang jadi hambatannya? Budget pasti udah okelah, soalnya kalian udah pada kerja. Ya, lo emang masih nganggur. Tapi royalti buku masih cair kan? Trus kalau masalah waktu, itu bisa diatur. Kendaraan? Pakai mobil gue. Suami gue pasti setuju." Jelas Balqis.

"Gue pikir tadinya kita staycation berempat doang."

"Gak bisa gitu dong, Ki. Staycation bukan sekedar pergi pagi pulang sore. Tapi kita bakal nginep juga di sana. Bahaya kalau gak bawa cowok."

"Gue capek denger alasan ini, Qis." Kiana mengalihkan posisinya membelakangi Balqis.

"Ayolah, Ki. Kita kan bisa ngajak Rizki. Lo masih inget dia kan?" Bujuk Balqis. Kiana tak menjawab.

Hening. Terdengar hembusan napas kasar dari Balqis.

"Gue cuma pengen kalian punya kenangan masa muda. Niat kita staycation bawa cowok bukan buat macem-macem. Sekedar untuk mengabadikan moment." Lanjut Balqis.

"Kalau alasan lo bawa Baskara buat jagain kita, gue rasa itu gak masalah. Lagipula dia suami lo. Tapi temen-temen yang lain gak perlu bawa cowok kan? Biar apasih? Lo mau mereka mengabadikan moment? Iya, kalau nanti cowok itu bakal jadi pasangan mereka. Kalau nggak? Mampus deh, move on bertahun-tahun. Bikin ribet!"

Balqis mengernyit heran. "Yang bikin ribet itu pemikiran lo, Ki. Omongan lo sama kayak nyokap gue. Semuanya mesti dipikirin panjang. Apa salahnya dijalanin ajasih? Let it flow! Selagi ada kesempatan kenapa gak dimanfaatin? Maksud gue gitu loh. Lagian gue juga gak bakal tau sampai kapan bisa staycation bareng kalian kedepannya. Gue udah nikah. Selagi gue belum punya anak, gue pengen abisin waktu sama kalian walaupun sebentar."

Kiana terdiam.

Bunyi notifikasi pesan masuk membuat Kiana sontak berbalik badan. Ia langsung mengubah posisinya menjadi duduk kala melihat sekilas siapa pengirim pesan itu.

Tentu saja Aksa Radhika.

Melihat Kiana yang fokus pada ponselnya, Balqis berdehem pelan. Alih-alih menggubrisnya, Kiana sama sekali tak berpaling dari benda pipih itu.

Balqis akhirnya beranjak keluar dari kamar tanpa mengatakan apapun.

***

TBC!

Kita Pernah Berhenti (On Going)Where stories live. Discover now