Bab: 20

64 12 1
                                    

Sepasang orang asing kembali bertemu untuk kedua kali, artinya mungkin kebetulan. Memangnya mau berharap apa?

***

H-4 deadline project naskah yang sedang Kiana jalani. Sebenarnya ia sudah menyelesaikan 29 bab. Tinggal 1 bab ending, maka lengkap sudah naskahnya.

Biasanya, Kiana selalu menulis lima ribu kata bahkan lebih di part ending. Tapi masalahnya, hari ini otaknya stuck. Bingung ingin menciptakan ending bahagia yang seperti apa.

Jujur saja, Kiana adalah pecinta sad ending. Semua naskah pribadi yang ia tulis selalu berakhiran sad.

Entah kenapa ia tak berbakat membuat happy ending. Menurutnya terkesan kaku. Tapi khusus untuk project ini, ia terpaksa menyuguhkan happy ending.

Sepertinya Kiana butuh healing. Ya untuk sekedar menghirup udara segar dan mencari inspirasi.

Biasanya jika sudah stuck menulis, ia akan bantai menonton film. Tak peduli dengar genre film yang ia tonton, kecuali horror. Tapi masalahnya, beban di kepalanya seolah menumpuk. Konflik dengan teman-temannya belum juga selesai, padahal sudah lewat dari tiga hari.

Grup WhatsApp mereka masih sepi. Kiana menunggu momment salah satu diantara mereka memosting sesuatu agar ia bisa komen dan memulai semuanya dari sana. Tapi anehnya, tak ada satupun dari mereka yang memosting sesuatu hingga saat ini.

Kiana akui dia memang egois. Ini salahnya. Ia tahu bahwa sejak dulu teman-temannya memang tak pernah suka dengan Aksa. Mereka tak suka dengan lelaki itu bukan tanpa alasan. Mereka hanya tak mau melihat Kiana terlalu lama berharap dan sakit hati pada lelaki yang pernah ia kejar secara brutal saat SMA.

Kiana memang payah. Egonya terlalu tinggi untuk sekedar mengirimkan pesan permintaan maaf pada teman-temannya di grup.

Banyak ketakutan yang Kiana simpan. Ia takut diabaikan. Kemungkinan terburuknya lagi, ia takut jika ketikannya nanti malah disalah artikan dan berakhir memperkeruh keadaan.

Entahlah! Memang yang paling tepat adalah menjelaskannya secara tatap muka.

Panggilan masuk dari sang Mama membuat Kiana terpaksa menghentikan asumsi-asumsi negatifnya.

"Hallo, Assalamualaikum, Ma."

"Wa'alaikumussalam. Kia, kamu bisa ke rumah sekarang?" Suara Mamanya terdengar berbeda.

"Kenapa Ma?"

"Mama lagi sakit."

Mendengar hal itu jelas membuat Kiana panik.

"Oke, Kia langsung ke rumah sekarang ya Ma." Ujar Kia sambil memutus panggilan lebih dulu.

Jiwa bermalas-malasannya sontak hilang. Diganti dengan rasa khawatir dan panik. Ia mengambil pakaiannya secara asal dan langsung menggantinya. Tak peduli dengan bentuknya yang masih kusut sebab belum di setrika, intinya ia hanya ingin segera sampai di rumah.

***

Kiana memandang sang Mama dengan tatapan tak percaya. Ia bahkan menggeleng untuk kesekian kalinya. Sementara sang Mama hanya tertawa melihat rekasi panik putrinya.

"Kia panik loh, Ma. Takut Mama kenapa-napa." Ucap Kiana.

"Flu dan batuk itu kan namanya juga sakit." Jawab sang Mama tanpa rasa bersalah. Pantas saja saat ditelpon tadi suara Mamanya terdengar berbeda.

"Mama bisa langsung bilang kalau Mama sakit flu dan batuk. Kalau Mama jujur juga Kia pasti bakalan dateng kok."

"Kelamaan. Paling juga ntar kamu undur jadi besok atau lusa. Memangnya gak boleh kalau Mama pengen ketemu sama kamu?"

Kita Pernah Berhenti (On Going)Where stories live. Discover now