[ 15 ]

15 3 0
                                    

Hanif membuka pintu kamarnya. Saat ia menoleh ke kamar di sebelahnya, seorang laki-laki sedang berdiri di depan pintu.

'ekhm'

Hanif berdehem dengan maksud agar laki-laki yang ada di sana menoleh ke arahnya. Syukurlah sepertinya ia berhasil. Laki-laki itu menoleh, tapi hanya sebentar sebelum akhirnya ia kembali menatap lurus ke depan pintu.

"Ngapain?" Tanya Hanif yang akhirnya membuka suara.

Huft!

"Nungguin Sindi"balas Adib apa adanya.

Hanif mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Janjian nya jam berapa?" Tanya Hanif lagi.

"10"

Hanif melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, memastikan jam yang tertera di sana.

"Bentar lagi" balasnya kemudian.

"Lu sendiri mau kemana?" Tanya Adib penasaran.

"Cari angin aja sih"

"Nggak ada rencana pergi sama yang lain?"

"Samy sama Haikal?"

"Iya"

"Nggak, Haikal masih tidur"

"Ooh"

"Samy? Kemana?"

"Kerja"

"Ha?"

"Iya kerja, liat aja ke kamar nya" pinta Adib.

"Nggak deh, gue mau pergi"

"Ya udah"

"Gue duluan ya" pamit Hanif, "good luck"

Adib mengangguk, bersamaan dengan perginya Hanif dari pandangan nya. Langkahnya yang panjang membuat nya hilang dalam sekejap dari pandangan Adib.

Selang beberapa saat setelah kepergian Hanif, pintu kamar yang ditunggui Adib terbuka. Menampilkan seorang perempuan yang tingginya tak lebih dari bahunya. Ia menggunakan kemeja berwarna biru langit dengan tambahan rompi dan celana berwarna abu-abu tua. Kerudung nya terlihat sangat rapi sehingga tidak meninggalkan satu jejak garis pun. Sangat sempurna, untuk gambaran seorang perempuan independen.

"Kayak nya tadi gue dengar lu ngomong deh" ucap Sindi mengingat-ingat.

"Oh, iya tadi ada Hanif" balas Adib cepat, "tapi sekarang udah pergi"

Sindi mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Kita-" Sindi menggantung kalimat nya, melihat kearah laki-laki yang menantikan lanjutan dari kalimatnya, "-mau berangkat sekarang?"

"Boleh"

Adib mengambil langkah pertama yang langsung diikuti oleh Sindi. Keduanya berjalan beriringan keluar dari gedung hotel yang terlihat sangat besar itu. Sesekali langkah mereka diiringi dengan beberapa obrolan singkat, tapi kemudian mereka kembali diam. Begitulah seterusnya hingga akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan mereka.

♪♪⁠♪

Rhania menghentikan langkahnya. Pergelangan tangan nya yang kecil yang jika di genggam hanya terasa seperti tulang itu di genggam erat oleh seseorang di belakangnya. Ada satu alasan mengapa ia tak menepis tangan itu sekalipun ia bisa, sebab tangan yang menggenggam pergelangan tangannya adalah seorang perempuan jika ia tak salah dalam menilai. Tentu saja hal tersebut tidak akan ia biarkan jika yang menggenggam nya adalah seorang laki-laki.

White Roses : melt your heart [ Tanvir Series ]Where stories live. Discover now