[ 10 ]

11 3 0
                                    

Beberapa saat yang lalu, mata pisau itu masih ada di genggaman Rhania. Ia merebut paksa pisau yang di bawa pasien nya agar ia tidak melukai dirinya sendiri. Tapi siapa sangka bahwa pisau itu justru di tarik kembali oleh pasiennya sebelum Rhania sempat melepaskan nya.

Tak butuh waktu lama, darah segar mulai mengalir dari telapak tangannya, turun membasahi lengan jas putih yang saat ini ia gunakan. Tak sedikit pula yang menetes, jatuh mengotori lantai keramik berwarna putih yang saat ini menjadi tempatnya berpijak.

Perempuan berusia 18 tahun yang ada di hadapannya seketika mematung. Pisau yang sudah berpindah ke tangannya itu seketika terlepas dari tangan nya saat darah segar mengalir tak henti-hentinya dari telapak tangan Rhania.

Rhania melihat ke telapak tangan nya, kemudian beralih menatap perempuan itu. Ekspresi nya bercampur aduk, entah takut, panik, atau khawatir. Sedetik kemudian, sebelum perempuan itu sempat mengeluarkan suara tangisnya, Rhania sudah lebih dulu menariknya ke dalam pelukannya. Satu tangannya memeluk gadis itu berusaha untuk menenangkannya, sedangkan satu tangan lainnya yang masih mengalirkan darah itu, sengaja ia jauhkan agar tidak ikut mengotori baju gadis itu.

"K-ak, ma-a-f"

Hiks...hiks...hiks

Rhania mengusap kepala gadis itu, sengaja tak menjawab ucapannya sampai ia tenang. Tapi suara tangisnya semakin lama terdengar semakin nyaring. Rhania mengencangkan dekapannya, berharap perempuan itu mengerti dengan maksudnya.

"Jangan bersuara" bisik Rhania.

Ia tak melarang gadis itu menangis, hanya saja ia tak ingin mengundang perhatian orang-orang yang ada di luar.

Perlahan-lahan ia mulai berangsur tenang, meski masih terdengar sedikit isak, tapi bisa di pastikan ia sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Rhania melepaskan pelukannya, meminta gadis itu menatapnya.

"Sekarang Viola udah tenang?" Tanya Rhania hati-hati.

Gadis itu mengangguk.

"Tapi tangan kakak luka karena Vio" balasnya dengan suara bergetar

Rhania melihat tangannya yang masih meneteskan darah segar itu, lalu ia tersenyum.

"Darahnya doang yang banyak, aslinya nggak sakit kok" balas Rhania meyakinkan.

"Kita ke rumah sakit dulu ya kak"

"Nggak papa kok-", Rhania meraih pisau yang masih tergeletak di lantai dengan kakinya, kemudian menendangnya agar menjauh dari jangkauan perempuan bernama Viola itu, "-yang penting sekarang kamu udah tenang kan?"

Lagi-lagi gadis itu mengangguk.

"Sekarang Vio pulang dulu ya! Nanti biar kakak buatin jadwal temu baru"

"Tapi kakak luka, gimana bisa Vio pulang?-" ucap perempuan itu khawatir, "-ayok kita ke rumah sakit" ajaknya.

Huft!

Rhania menarik nafas panjang. Rasa sakit nya mulai terasa memarah. Tapi bagaimana mungkin ia terlihat kesakitan di hadapan pasien nya yang bahkan keadaan nya saja mungkin tidak lebih baik darinya.

"Vio-"

Sesaat Rhania menunduk sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Berusaha kuat agar ia tak terlihat kesakitan.

"-Kalau kita kerumah sakit sekarang, orang-orang bakal nyalahin Vio. Jadi biar keadaan nya nggak memburuk, Vio pulang ya!" Pinta Rhania.

"Tapi kakak-"

"Nggak papa, kakak bisa kok ngatasi nya sendiri" potong Rhania.

"Kak, ma-af"

Huft!

White Roses : melt your heart [ Tanvir Series ]Where stories live. Discover now